SEWAKTU pulang dari sebuah acara reuni di Purwakarta, saya naik bus menuju Bogor. Sebelum masuk tol Cikampek, bus ngetem
dulu di beberapa penghentian. Taulah, di setiap penghentian itu, para
pedagang asongan naik turun bergiliran, dengan barang yang itu-itu juga:
tahu, kacang, minuman botol, jeruk.
Saya tentu tidak
berselera. Malamnya melepasliarkan nafsu makan, nyikat udang dan bawal
bakar di tempat reuni. Paginya diajak dulu pelesir ke Jatiluhur oleh
beberapa sahabat. Sempat menyantap soto ayam.
Jadi, tak terpikir sama sekali untuk membeli cemilan. Lagi pula saya makhluk yang tak suka ngemil.
Bus
belum penuh, masih banyak tempat duduk yang tak terisi. Terlihat lelah
dan lesu, seorang kakek, saya kira 65 tahunan, duduk di kursi penumpang,
mungkin untuk sekedar melonggarkan otot kaki.
Hari sedang
terik. Saya membayangkan si kakek sudah berjualan sejak pagi. Hasilnya
sudah berapa, entahlah. Tapi saya bisa mengira-ngira. Rangkaian tahu
goreng dan kacang berbungkus plastik yang ditentengnya masih banyak.
Paling baru laku empat-lima bungkus.
Dia duduk di depan
sebelah kanan saya. Terlihat kepalanya mengangguk-ngangguk -- mengantuk
kecapaian. Bungkusan tahunya terlihat berembun, petunjuk bahwa bungkusan
tahu itu sudah agak lama. Mungkin sudah tiga harian. Orang yang tau
petunjuk itu mana mau beli?
Apalagi saya, perut sudah kenyang dan tau kalau makan tahu itu sama saja mengundang penyakit.
Tapi
pikiran saya terus muter: kalau tak ada yang beli, atau yang beli cuma
satu-dua, si kakek tak dapat rejeki, pasti sekedar untuk bisa makan.
Tarolah dagangan itu miliknya. Tapi saya yakin dia cuma menjualkan.
Paling-paling dia dikasih sekian ratus perak dari setiap bungkus yang
terjual. Harga perbungkus 2 ribu rupiah. Katakanlah dari satu bungkus
dia mendapat 5 ratus rupiah. Hitungan cepat saya, sampai siang ini
paling-paling dia dapat 5 ribu rupiah. Untuk dia sendiri saja tidak
cukup, apalagi kalo ada tanggungan di rumah.
“Saya harus
beli!” pikir saya. “Membeli tak selalu harus didorong kebutuhan.
Sekali-kali membeli dengan niat beramal, kenapa rupanya.”
“Tapi
kalo orang berpikir begitu hukum perdagangan jadi tak berlaku. Hukum
dagang kan berdasarkan kualitas barang dan kelayakan harga,” pikir saya
lagi.
“Halah, hukum dagang kan buatan manusia. Kenapa sih.
Hidup tak selalu harus pake hukum dagang. Saya harus beli!” pikiran
saya selanjutnya. Dan saya pun membeli dua bungkus tahu dan sebungkus
kacang dari si kakek tersebut.
Saya perhatikan bungkus
plastiknya berembun. Pasti sudah basi. Saya buka, ada aroma apek sedikit
memang. Tambah menjauhkan selera makan.
“Ah, buang saja tanpa setau si kakek,” pikir saya lagi.
Tapi,
pikiran saya juga yang menyanggah: “Kalau beli cuma untuk dibuang,
bodoh amat engkau, sekaligus kemubadziran, pemborosan yang keterlaluan.”
“Tapi kalau dimakan sama saja mengundang penyakit. Perbuatan tidak baik juga kan?” pikiran saya juga yang sama mendebat.
“Kalau
engkau menggap pembelian tadi itu amal baik dan engkau melakukannyha
karena Allah, mengapa takut? “ Bismillah…mam tahu agak basi itu masuk
ke mulut. Rasa asem-asem saya ak pedulikan, anggap saja sedang terjadi
proses fermentasi dalam mulut.
Alhamdulillah sampai detik ini tak pernah mules. Sehat wal-afiat.
***
TADI
siang hujan deras. Saya bertedu di sebuah emper ruko. Ada penjual soto
babat pikul. Dia berteduh karena hujan begitu derasnya.
Saya
duga ia sudah berjalan cukup jauh memikul soto babat itu. Hari itu
hujan turun sejak pagi, berselang reda beberapa menit, hujan lagi karena
itu dagannya masih banyak. Atau mungkin juga karena soto babatnya
kurang memuaskan selera pembeli. Ketika dia berteduh itu pun, tak ada
pembeli. Tak ada orang. Cuma saya.
Dengan pikiran seperti di bus tadi, saya membeli.
Benar saja. Di samping sedikt berbau tak sedap, ada rasi amis-amisnya. Terpikir untuk pura-pura menjauh dan membuangnya.
“Tidak! Habiskan! Laa haula wa quwwata illa billah,” demikian dorongan dari dalam diri.
Soto pun habis. Dan sampai detik ini sehat-sehat saja. Pasti karena lindungan Allah.
Tentu, kalau pun saya ternyata mules-mules dan sakit, saya harus ikhlas menerimanya.
Sekali-kali,
atau sering pun tak apa, kita perlu melakukan sesuatu bukan karena
‘saya perlu’, tapi karena ‘dia atau mereka perlu’.
wah jangan-jangan itu soto sudah bercampur air hujan lagi, makanya jadi rada berbau amis-amis gitu, hehe..!!
BalasHapustetapi benar-benar pekerja keras, sampai hujanpun itu soto tetap dipikul, terlampau pekerja keras, hehe,!!
TERIMA KASIH MBAK DEVY SUDAH MAMPIR DI BLOG SAYA
Hapus