PERNAH naik bis umum? Ketika sedang ngetem atau berhenti di lampu
merah, akan bergiliran naik pedagang asong, pengamen, peminta sumbangan,
peminta-minta.
Naiklah seorang penjual permen, kacang,
minuman dan rokok. Setelah setiap tempat duduk dijaja, dari pintu depan
sampai belakang, tak seorang pun membeli. Sekali-sekala satu dua orang
membeli.
Naiklah pengamen,
membawakan lagu dan musik yang lebih mendatangkan kebisingan di telinga
penumpang ketimbang sesuatu yang bisa dinikmati. Lalu si pengamen
mengasongkan kantong kecil ke setiap penumpang, saya perhatikan 80persen
penumpang mengisi kantong kecil itu [memberi].
Adegan di
atas kejadian sangat lumrah di bis, angkutan umum, dan tempat-tempat
lain. Ada persoalan ketidakadilan di situ. Orang yang berusaha secara
bermartabat, tak mendapat hasil. Orang yang menadahkankan tangan, tak
memelihara kehormatan, mendapatkan hasil dengan gampang.
Tanya
seorang penyapu jalan, petugas kebersihan, berapa upah mereka mereka.
Anda patut merasa kasihan. Tapi anda tidak kasihan kepada mereka, bukan?
Anda kasihan kepada peminta-minta atau penjual jasa pengatur lalulintas
di belokan yang membuat jalan tambah semrawut. Tau penghasilan mereka
dibanding petugas kebersihan? Asal tahu saja: bisa sepuluh kali lipat
lebih besar. Dan bisa lebih besar dari penghasilan anda. Saya tidak
sedang ngarang-ngarang.
Tapi kita lebih kasihan kepada
peminta-minta daripada kepada orang yang bekerja secara bermartabat.
Mari melhat 'kedalam'. Kenapa kita lebih gampang mengeluarkan uang --
meski recehan -- kepada peminta-minta, pengamen, pengatur belokan ilegal
daripada kepada pedagang? Jawabanya: Kita punya rasa kasihan. Rasa iba.
Perasaan yang luhur. Dan yang lebih terasa: Tidak enak kalau tak
memberi.
Tak ada yang salah dengan rasa iba dan kasihan.
Tapi rasa itu, seperti keinginan, tak selalu baik untuk dipenuhi. Sebab
kalau ditelusuri lebih 'kedalam', memberi karena kasihan itu sebenarnya
untuk mempertahankan kenyamanan si pemberi -- ada unsur egoisme di situ.
Memberi,
berbuat baik, harus dengan konteks -- memberi dengan ikhlas sekalipun.
Di sisi lain, kebanyakan kita adalah jenis manusia yang senang
dikasihani. Mereka tak membedakan 'dikasihani' dan 'disenangi' atau
'dicintai'. Orang hanya pincang sebelah, langsung pergi ke perempatan
untuk mengemis. Punya badan cacat menjadi alasan sah untuk
meminta-minta. Di negara maju, orang cacat lebih bersemangat kerja
daripada orang normal. Apa lagi cacatnya hanya pincang atau picak.
Seluruh
manusia senang dicintai dan disukai, tapi manusia yang punya rasa harga
diri tak senang dikasihani. Bukan hanya rakyat, para pejabat senang
dikasihani negara dan donor asing. Padahal setiap bantuan pasti ada
udang di balik piring.
Kalau kita semua mengumbar rasa
kasihan dan iba, ketakadilan semakin merajalela. Juga
kesewenang-wenangan.Seseorang pernah menawarkan pekerjaan layak kepada
seorang pengatur belokan. "Bisa bersihkan bagian selokan itu? Sepuluh
meter. Saya bayar 100 ribu."
Itu pekerjaan gampang. Dia
menolak. Jawabannya: "Saya cuma gini aja dapat 300 ribu, Pak. Ga sampai
sehari." Di sebuah belokan kecil dekat tempat tinggal saya, sebuah
belokan 'digarap' tiga orang. Tiap orang dapat 500 ribu perhari,
perhari. Di depannya, ada bengkel mobil. Karyawannya dapat upah 300 ribu
perminggu. Masih kasihan kepada pengatur belokan?
Seorang
ibu penjual peceli keliling, seorang yang saya kagumi di tempat tinggal
saya, mendapat sekitar Rp60 ribu perhari setelah seharian menjual pecel
dan bakwan dengan sepeda. Seorang ibu di lampu merah, dengan menyewa
bayi, dan menadahkan tangan, mendapat Rp200 ribu perhari.
Pernah
ada orang berkata: "Ngasih engga, nyediakan pekerjaan tidak. Pelit amat
jadi orang." Orang yang berkata begini tidak tahu keadaan.
Rasa
kasihan dan iba kita adalah objek. Anak-anak jalanan makin banyak
karena melihat kawannya dapat duit gampang. Sepulang sekolah, mereka
ganti 'busana' dan berkeliaran di lampu merah, tempat-tempat macet.
Guru-gurunya tak pernah mengajarkan soal martabat dan kehormatan diri.
Anda
membawa kendaraan dan masuk restoran yang ada tempat parkirnya. Sewaktu
masuk ya masuk saja karena tempat masih leluasa. Tapi ketika hendak
keluar dan menstater mobil, tiba-tiba di belakang ada: "Priittt!! Terus!
Terus!" -- tukang parkir swasta entah dari mana muncul. Si pemilik
restoran tak mau tanggung jawab. Padahal di bill yang anda bayar itu
sudah ada 'service tax', dan tempat parkir itu miliknya. Coba tanya ke
petugas resto itu: "Apa saya harus membayar parkir?" Jawabannya:
"Terserah bapak/Ibu." Dia tak mau bertanggung jawab.
Lalu
anda mampir di satu tempat untuk membeli sesuatu atau ada keperluan.
Waktu berhenti tak ada makhluk. Tapi ketika hendak jalan kembali,
tiba-tiba muncul makhluk itu, berlari meniup peluit dan berteriak:
"Kanan! Kanan!"Rasa kasihan kita akan makin menyuburkan para penodong
rejeki seperti ini. Manusia-manusia tidak produktif dan tidak
berkepentingan dengan harga diri. Di kantor-kantor Pemerintah, di kantor
polisi, makhluk-makhluk seperti ini makin banyak saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar