Jumat, 01 Mei 2015

KASIHAN PADA DIRI SENDIRI

PERNAH naik bis umum? Ketika sedang ngetem atau berhenti di lampu merah, akan bergiliran naik pedagang asong, pengamen, peminta sumbangan, peminta-minta.

Naiklah seorang penjual permen, kacang, minuman dan rokok. Setelah setiap tempat duduk dijaja, dari pintu depan sampai belakang, tak seorang pun membeli. Sekali-sekala satu dua orang membeli.

Naiklah pengamen, membawakan lagu dan musik yang lebih mendatangkan kebisingan di telinga penumpang ketimbang sesuatu yang bisa dinikmati. Lalu si pengamen mengasongkan kantong kecil ke setiap penumpang, saya perhatikan 80persen penumpang mengisi kantong kecil itu [memberi].



Adegan di atas kejadian sangat lumrah di bis, angkutan umum, dan tempat-tempat lain. Ada persoalan ketidakadilan di situ. Orang yang berusaha secara bermartabat, tak mendapat hasil. Orang yang menadahkankan tangan, tak memelihara kehormatan, mendapatkan hasil dengan gampang.

Tanya seorang penyapu jalan, petugas kebersihan, berapa upah mereka mereka. Anda patut merasa kasihan. Tapi anda tidak kasihan kepada mereka, bukan? Anda kasihan kepada peminta-minta atau penjual jasa pengatur lalulintas di belokan yang membuat jalan tambah semrawut. Tau penghasilan mereka dibanding petugas kebersihan? Asal tahu saja: bisa sepuluh kali lipat lebih besar. Dan bisa lebih besar dari penghasilan anda. Saya tidak sedang ngarang-ngarang.

Tapi kita lebih kasihan kepada peminta-minta daripada kepada orang yang bekerja secara bermartabat. Mari melhat 'kedalam'. Kenapa kita lebih gampang mengeluarkan uang -- meski recehan -- kepada peminta-minta, pengamen, pengatur belokan ilegal daripada kepada pedagang? Jawabanya: Kita punya rasa kasihan. Rasa iba. Perasaan yang luhur. Dan yang lebih terasa: Tidak enak kalau tak memberi.

Tak ada yang salah dengan rasa iba dan kasihan. Tapi rasa itu, seperti keinginan, tak selalu baik untuk dipenuhi. Sebab kalau ditelusuri lebih 'kedalam', memberi karena kasihan itu sebenarnya untuk mempertahankan kenyamanan si pemberi -- ada unsur egoisme di situ.

Memberi, berbuat baik, harus dengan konteks -- memberi dengan ikhlas sekalipun. Di sisi lain, kebanyakan kita adalah jenis manusia yang senang dikasihani. Mereka tak membedakan 'dikasihani' dan 'disenangi' atau 'dicintai'. Orang hanya pincang sebelah, langsung pergi ke perempatan untuk mengemis. Punya badan cacat menjadi alasan sah untuk meminta-minta. Di negara maju, orang cacat lebih bersemangat kerja daripada orang normal. Apa lagi cacatnya hanya pincang atau picak.

Seluruh manusia senang dicintai dan disukai, tapi manusia yang punya rasa harga diri tak senang dikasihani. Bukan hanya rakyat, para pejabat senang dikasihani negara dan donor asing. Padahal setiap bantuan pasti ada udang di balik piring.

Kalau kita semua mengumbar rasa kasihan dan iba, ketakadilan semakin merajalela. Juga kesewenang-wenangan.Seseorang pernah menawarkan pekerjaan layak kepada seorang pengatur belokan. "Bisa bersihkan bagian selokan itu? Sepuluh meter. Saya bayar 100 ribu."

Itu pekerjaan gampang. Dia menolak. Jawabannya: "Saya cuma gini aja dapat 300 ribu, Pak. Ga sampai sehari." Di sebuah belokan kecil dekat tempat tinggal saya, sebuah belokan 'digarap' tiga orang. Tiap orang dapat 500 ribu perhari, perhari. Di depannya, ada bengkel mobil. Karyawannya dapat upah 300 ribu perminggu. Masih kasihan kepada pengatur belokan?

Seorang ibu penjual peceli keliling, seorang yang saya kagumi di tempat tinggal saya, mendapat sekitar Rp60 ribu perhari setelah seharian menjual pecel dan bakwan dengan sepeda. Seorang ibu di lampu merah, dengan menyewa bayi, dan menadahkan tangan, mendapat Rp200 ribu perhari.

Pernah ada orang berkata: "Ngasih engga, nyediakan pekerjaan tidak. Pelit amat jadi orang." Orang yang berkata begini tidak tahu keadaan.

Rasa kasihan dan iba kita adalah objek. Anak-anak jalanan makin banyak karena melihat kawannya dapat duit gampang. Sepulang sekolah, mereka ganti 'busana' dan berkeliaran di lampu merah, tempat-tempat macet. Guru-gurunya tak pernah mengajarkan soal martabat dan kehormatan diri.

Anda membawa kendaraan dan masuk restoran yang ada tempat parkirnya. Sewaktu masuk ya masuk saja karena tempat masih leluasa. Tapi ketika hendak keluar dan menstater mobil, tiba-tiba di belakang ada: "Priittt!! Terus! Terus!" -- tukang parkir swasta entah dari mana muncul. Si pemilik restoran tak mau tanggung jawab. Padahal di bill yang anda bayar itu sudah ada 'service tax', dan tempat parkir itu miliknya. Coba tanya ke petugas resto itu: "Apa saya harus membayar parkir?" Jawabannya: "Terserah bapak/Ibu." Dia tak mau bertanggung jawab.

Lalu anda mampir di satu tempat untuk membeli sesuatu atau ada keperluan. Waktu berhenti tak ada makhluk. Tapi ketika hendak jalan kembali, tiba-tiba muncul makhluk itu, berlari meniup peluit dan berteriak: "Kanan! Kanan!"Rasa kasihan kita akan makin menyuburkan para penodong rejeki seperti ini. Manusia-manusia tidak produktif dan tidak berkepentingan dengan harga diri. Di kantor-kantor Pemerintah, di kantor polisi, makhluk-makhluk seperti ini makin banyak saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar