Pengamen lewat, muncul satu tim tari Madura, mengibaskan pecut yang bunyinya membuat anak saya menangis karena kaget. Tamu-tamu lain saya lihat kaget juga. Mereka pun mendapat uang recehan dari beberapa tamu.
Tim tari berlalu. “Assalamu’alaikum,” ucap sepasang peminta sedekah, si perempuan berkerudung membawa kencleng bertuliskan huruf Arab, si laki-laki berkopiah menyampaikan permintaan sedekah, dari meja ke meja. Pun, beberapa tamu memberi sedekah. Saya tidak termasuk.
Tim sedekah pergi, muncul seorang muda, menggendong tas besar berisikan sandal berbagai jenis. Dia menjaja sandal ke para tamu, dari meja ke meja. Tidak ada yang beli.
Terlihat ironi. Orang lebih mudah terdorong memberi ‘penghargaan’ kepada para penadah tangan ketimbang kepada orang yang berusaha secara terhormat dan bermartabat.
Sampai ke meja paling belakang di depan saya, dia menawarkan dagangannya dengan roman muka memelas. Saya tak mendengar omongannya, tapi saya lihat si tamu di meja itu memberi uang, tanpa si penjual sandal memberi barangnya. Maka saya menduga si penjual sandal itu meminta sedekah, karena si tamu tidak membeli barangnya. Pemandangan ini mengundang perhatian saya. Maka saya panggil dia.
“Berapa harga yang ini?” saya menunjuk sepasang sandal.
Dia menyebut sebuah angka, yang menurut saya jauh di atas harga pantas.
“Kemahalan itu,” kataku.
“Ya itu kan penawaran dari saya, Pak. Bapak menawar berapa? Silahkan saja.”
“Begini Mas,” kataku. “Saya tak pandai dan tak mau tawar menawar. Sebutkan saja harga yang pantas. Kalau menurut saya juga pantas, saya beli.
“Kalaupun perlu tawar-menawar, selisihnya jangan terlalu jauh. Kan tak enak menawar lebih dari setengah harga. Dan Mas juga harus merasa tak enak memasang harga lebih dari setengah harga sebenarnya,” kataku lagi.
“Menurut Bapak harga pantasnya berapa…” katanya.
Saya menyebutkan satu angka. Dia setuju. Jual-beli terlaksana sudah.
“Saya ingin memberi saran sedikit, Mas,” kataku ketika dia hendak pergi.
“Oh, boleh Pak. Saya perlu saran Bapak.”
“Saya senang melihat Mas dagang, tidak mengamen, meminta sedekah, mengemis,” kataku.
Ada sungging senyum di bibirnya.
“Tapi saya tak senang Mas memasang wajah memelas kepada orang-orang, seakan meminta belas kasihan. Orang harus membeli barang Mas karena perlu dan barang Mas pantas untuk dibeli, bukan karena kasihan,” kataku lagi.
“Saya mengerti mungkin Mas lapar, belum dapat uang, barang belum ada yang beli. Tapi itu tantangan orang berusaha. Cepat atau lambat, Mas pasti dapat uang.”
“Berdagang itu kegiatan orang bermartabat, berharga-diri. Rejeki dari berdagang itu bersih, hasil usaha dan keringat. Karena itu Mas harus bangga. Jangan minta dikasihani.”
“Tunjukkan kebanggaan itu pada wajah dan sikap Mas. Tunjukkan bahwa Mas adalah manusia bermartabat, manusia pejuang! Bukan peminta belas kasihan!”
“Kalau mau minta belas kasihan juga, ya mengemis aja. Tak usah payah-payah nenteng itu barang kesana-kemari. Kenapa tak mengemis aja Mas?”
“Malu, Pak,” jawabnya.
“Nah! Pertahankan rasa malu itu! Bangga lah berdagang. Dan malu lah mendapat belas kasihan orang.”
Jeda obrolan beberapa jenak. Kulihat warna wajahnya berubah; dari memelas ke ekspresi berpikir, kemudian ke roman wajah yakin.
“Terima kasih banyak Pak. Nasihat Bapak benar-benar menyadarkan saya. Saya jadi malu dengan sikap saya tadi kepada orang-orang; menyesal tadi saya minta sedekah. Mulai sekarang, saya pantang minta dikasihani Pak!”
“Sekali lagi terima kasih Pak. Saya akan selalu ingat kata-kata Bapak,” katanya lagi.
Dia pun berlalu. Saya lihat langkahnya tak lagi gontai, wajahnya penuh keyakinan. Sambil menatapnya pergi, saya berharap dia jadi pribadi yang kuat, berkarakter, tidak seperti kebanyakan ‘pemimpin’, ‘tokoh masyarakat’, ‘pekerja sosial’, yang berusaha menujukkan kepada para donor asing bahwa bangsanya miskin, karena itu perlu bantuan. Dan kalau bila bantuan itu datang, orang-orang macam inilah yang jadi penyalurnya, dapat komisi ‘management fee’ atas jasa berdagang kemiskinan bangsanya. Orang-orang seperti ini secara substantif lebih miskin dari si Mas penjaja sandal tadi, yang sekarang – mudah-mudahan – sudah tidak lagi bermental miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar