PENDIDIKAN
Indonesia tidak membentuk manusia berkarakter Indonesia. Pendidikan
Indonesia menghasilkan manusia-manusia yang rendah diri terhadap Barat.
Dan, cukup menyedihkan, sifat rendah diri ini makin hari makin menonjol
saja dalam pendidikan kita.
Lihatlah sekolah-sekolah kita, kurikulum pendidikan kita, yang berkiblat ke Amerika atau Eropa, sangat sedikit memasukkan pengetahuan tentang sawah dan ladang; tentang hutan dan sungai; tentang tanaman dan obat-obatan hasil kerja intelektual para cerdik pandai Indonesia; tentang nilai-nilai keindonesiaan.
Mata pelajaran di sekolah Indonesia dipenuhi oleh segala hal yang berbau ‘internasional’, padahal perangkat lunak komputer yang dipelajari sudah ketinggalan satu dekade. Dan betapa gandrung kita pada kata ‘internasional’. “Oh, sekolah itu sudah berkelas internasional.”
Perguruan tinggi lebih memperlihatkan kerendahdirian ini. 99 persen ilmu-ilmu yang dipelajari mahasiswa kita adalah ilmu impor, termasuk ilmu-ilmu sosial yang latar dan lingkungannya sangat berbeda dengan struktur masyarakat Indonesia. Kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial yang tak nyambung dengan kenyataan masyarakat Indonesia. Ilmu-ilmu sosial kita tidak digali dari kenyataan masyarakat sendiri; melalui penelitian dan penyusunan teori; sebab itu merepotkan. Mendingan impor.
Sejumlah seminar dan kuliah umum di Indonesia, tentang sejarah Indonesia, yang menghadirkan pembicara sarjana dan peneliti asing, selalu menarik minat para mahasiswa dan dosen Indonesia. Tidak demikian kalau si pembicara adalah sarjana atau peneliti Indonesia. Padahal, yang dibahas adalah sejarah Indonesia! Dan tahukah anda kemana sarjana Indonesia kalau ingin belajar sejarah Indonesia? Sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia? Ke Australia atau ke Belanda! Khazanah ilmu itu ada di sana karena para peneliti mereka datang ke sini dan meneliti di sini selama bertahun-tahun. Akademisi kita malas-malas. Kalaupun meneliti, penelitiannya fiktif dan hasilnya banyak saduran. Tapi sehabis itu mereka memaklumkan diri sebagai ‘pakar’ dan didaulat media sebagai ‘pengamat’.
Dan bahasa Inggris adalah bahasa pendidikan. Bahasa kemajuan. Pejabat, akademisi, pakar, atau sekedar lulusan yang bernilai pas-pasan tidak pede kalau bicara tidak menyelipkan kata-kata Inggris. Dan lahirlah sekarang apa yang disebut Indonenglsih, alias bahasa oplosan. Perintisnya antar lain Tuan SBY dan Vicky Prasetyo.
Asal tahu saja, berceloteh nginggris sekarang bukan pertanda gaul. Kemarin saya beli kelapa parut di warung pojok kampung, dan ketika saya membayar si emang penjualnya bilang: “Oke. Tengkyu.”
Bahasa Inggris bukan bahasa kemajuan. Bangsa Jepang, China, Korea Selatan, tidak suka dan tidak gandrung ‘nginggris’. Tapi dalam banyak hal kemajuan mereka mengungguli Barat. Mereka lebih gaul dengan bertahan pada identitasnya masing-masing.
Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Indonesia adalah pelajaran tidak penting. Kampungan. Ketinggalan zaman. Tapi di sekolah-sekolah menengah Australia malah jadi pelajaran kegemaran anak-anak Australia. Besok atau lusa, yang mempromosikan bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia, tapi orang Australia, Swedia atau Jepang.
Pendidikan Islam? Maaf, ini agak-agak norak. ‘Madrasah plus’ adalah istilah yang nge-tren. Plus di situ artinya ilmu-ilmu umum alias non-agama. Dan apalagi maksudya kalau bukan bahasa Inggris, komputer, fisika. Dulu, orangtua mengirim anak-anaknya ke madrasah adalah untuk belajar agama. Sekarang tidak lagi. Madrasah sudah tak punya identitas. Yang tinggal sekedar nama ‘madrasah’ saja. Isinya sama dan sebangun dengan SMU. Pembeda lainnya adalah bahwa mereka di bawah Kementrian Agama.
Mereka pun sama gandrung kata ‘internasional’.
Pesantren adalah sistem pendidikan sekaligus nama unik dan menarik bagi para peminat pendidikan luar negeri. Tapi sekarang pesantren di ujung kampung pun tidak menyebut dirinya pesantren, melainkan ‘Islamic Boarding School’. Dan panggilah pengajar bahasa Inggris bule dari Jalan Sabang dua bulan sekali, maka ditambahlah kata ‘international’ di plang pesantrennya: ‘International Islamic Boarding School’.
Kenapa madrasah tak bertahan dengan ke-khas-annya memberikan pelajaran-pelajaran agama saja? Sembari para gurunya dan tokoh pendidiknya berusaha membuat pelajaran agama jadi menarik?
Toh masyarakat kita tak pernah kehilangan minat belajar agama?
Lihatlah pengajian ESQ-nya Ary Ginanjar, dan mubaligh-mubalighah lain. Lepaskan dulu penghakiman sesat atau nyeleweng, tapi jelas orang-orang berminat belajar agama dengan pendekatan baru yang menarik.
Madrasah dan pesantren lebih memilih baju orang lain ketimbang bertahan dengan identitasnya sendiri. Saya tidak anti Barat dan tren. Tapi seperti banyak orang lain, saya lebih menghormati orang atau lembaga yang berkarakter dan beridentitas, daripada yang ingin ‘menjadi yang lain’.
Alhamdulillah, saya tak pernah seujung rambutpun merasa ada yang kurang sebagai lepasan pesantren, madrasah dan lulusan sekolah dalam negeri.
Lihatlah sekolah-sekolah kita, kurikulum pendidikan kita, yang berkiblat ke Amerika atau Eropa, sangat sedikit memasukkan pengetahuan tentang sawah dan ladang; tentang hutan dan sungai; tentang tanaman dan obat-obatan hasil kerja intelektual para cerdik pandai Indonesia; tentang nilai-nilai keindonesiaan.
Mata pelajaran di sekolah Indonesia dipenuhi oleh segala hal yang berbau ‘internasional’, padahal perangkat lunak komputer yang dipelajari sudah ketinggalan satu dekade. Dan betapa gandrung kita pada kata ‘internasional’. “Oh, sekolah itu sudah berkelas internasional.”
Perguruan tinggi lebih memperlihatkan kerendahdirian ini. 99 persen ilmu-ilmu yang dipelajari mahasiswa kita adalah ilmu impor, termasuk ilmu-ilmu sosial yang latar dan lingkungannya sangat berbeda dengan struktur masyarakat Indonesia. Kita mempelajari berbagai teori ilmu sosial yang tak nyambung dengan kenyataan masyarakat Indonesia. Ilmu-ilmu sosial kita tidak digali dari kenyataan masyarakat sendiri; melalui penelitian dan penyusunan teori; sebab itu merepotkan. Mendingan impor.
Sejumlah seminar dan kuliah umum di Indonesia, tentang sejarah Indonesia, yang menghadirkan pembicara sarjana dan peneliti asing, selalu menarik minat para mahasiswa dan dosen Indonesia. Tidak demikian kalau si pembicara adalah sarjana atau peneliti Indonesia. Padahal, yang dibahas adalah sejarah Indonesia! Dan tahukah anda kemana sarjana Indonesia kalau ingin belajar sejarah Indonesia? Sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia? Ke Australia atau ke Belanda! Khazanah ilmu itu ada di sana karena para peneliti mereka datang ke sini dan meneliti di sini selama bertahun-tahun. Akademisi kita malas-malas. Kalaupun meneliti, penelitiannya fiktif dan hasilnya banyak saduran. Tapi sehabis itu mereka memaklumkan diri sebagai ‘pakar’ dan didaulat media sebagai ‘pengamat’.
Dan bahasa Inggris adalah bahasa pendidikan. Bahasa kemajuan. Pejabat, akademisi, pakar, atau sekedar lulusan yang bernilai pas-pasan tidak pede kalau bicara tidak menyelipkan kata-kata Inggris. Dan lahirlah sekarang apa yang disebut Indonenglsih, alias bahasa oplosan. Perintisnya antar lain Tuan SBY dan Vicky Prasetyo.
Asal tahu saja, berceloteh nginggris sekarang bukan pertanda gaul. Kemarin saya beli kelapa parut di warung pojok kampung, dan ketika saya membayar si emang penjualnya bilang: “Oke. Tengkyu.”
Bahasa Inggris bukan bahasa kemajuan. Bangsa Jepang, China, Korea Selatan, tidak suka dan tidak gandrung ‘nginggris’. Tapi dalam banyak hal kemajuan mereka mengungguli Barat. Mereka lebih gaul dengan bertahan pada identitasnya masing-masing.
Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Indonesia adalah pelajaran tidak penting. Kampungan. Ketinggalan zaman. Tapi di sekolah-sekolah menengah Australia malah jadi pelajaran kegemaran anak-anak Australia. Besok atau lusa, yang mempromosikan bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia, tapi orang Australia, Swedia atau Jepang.
Pendidikan Islam? Maaf, ini agak-agak norak. ‘Madrasah plus’ adalah istilah yang nge-tren. Plus di situ artinya ilmu-ilmu umum alias non-agama. Dan apalagi maksudya kalau bukan bahasa Inggris, komputer, fisika. Dulu, orangtua mengirim anak-anaknya ke madrasah adalah untuk belajar agama. Sekarang tidak lagi. Madrasah sudah tak punya identitas. Yang tinggal sekedar nama ‘madrasah’ saja. Isinya sama dan sebangun dengan SMU. Pembeda lainnya adalah bahwa mereka di bawah Kementrian Agama.
Mereka pun sama gandrung kata ‘internasional’.
Pesantren adalah sistem pendidikan sekaligus nama unik dan menarik bagi para peminat pendidikan luar negeri. Tapi sekarang pesantren di ujung kampung pun tidak menyebut dirinya pesantren, melainkan ‘Islamic Boarding School’. Dan panggilah pengajar bahasa Inggris bule dari Jalan Sabang dua bulan sekali, maka ditambahlah kata ‘international’ di plang pesantrennya: ‘International Islamic Boarding School’.
Kenapa madrasah tak bertahan dengan ke-khas-annya memberikan pelajaran-pelajaran agama saja? Sembari para gurunya dan tokoh pendidiknya berusaha membuat pelajaran agama jadi menarik?
Toh masyarakat kita tak pernah kehilangan minat belajar agama?
Lihatlah pengajian ESQ-nya Ary Ginanjar, dan mubaligh-mubalighah lain. Lepaskan dulu penghakiman sesat atau nyeleweng, tapi jelas orang-orang berminat belajar agama dengan pendekatan baru yang menarik.
Madrasah dan pesantren lebih memilih baju orang lain ketimbang bertahan dengan identitasnya sendiri. Saya tidak anti Barat dan tren. Tapi seperti banyak orang lain, saya lebih menghormati orang atau lembaga yang berkarakter dan beridentitas, daripada yang ingin ‘menjadi yang lain’.
Alhamdulillah, saya tak pernah seujung rambutpun merasa ada yang kurang sebagai lepasan pesantren, madrasah dan lulusan sekolah dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar