SEPERTI Muslim lain, aku mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad –
sedikitnya lima kali sehari. Dan kalau ada orang melecehkan beliau,
darahku naik ke ubun-ubun.
Tapi untuk menyatakan bahwa aku mencintai nabi pamungkas itu, aku belum mampu – karena memang aku belum mencintainya.
Tentu, kalau yang dimaksud cinta adalah sekedar kagum, mengakui
keagungan pribadinya, dan mengikuti ajarannya yang ringan-ringan, yang
tak memerlukan pengorbanan, saya boleh menyatakan saya mencintai
Muhammad.
Tapi apa yang engkau maksud dengan cinta?
Menyebut-nyebut nama seseorang yang engkau sukai berulang-ulang? Tapi
pada saat yang sama melakukan hal-hal yang tidak disukai seseorang itu
berulang-ulang pula? Bagaimana perasaanmu, bila seseorang berkata
kepadamu bahwa dia mencintaimu, tapi pada saat yang sama dia melakukan
hal-hal yang tidak engkau suka?
Petunjuk paling
sederhana dari cinta adalah kesediaan mengabaikan diri sendiri, ego, dan
apapun yang terkait dengan ‘aku’, untuk kepentingan yang dicintai.
Seorang anak yang mencintai ibunya, akan mengorbankan kepentingan dan
kenyamanan dirinya demi kenyamanan ibunya itu. Bila sang ibu harus pergi
ke suatu tempat untuk suatu keperluan, sang anak akan menawarkan diri
untuk pergi mengurusi keperluannya itu. Ia tak sampai hati melihat
ibunya susah.
Dan dia tidak akan melakukan hal-hal
yang tidak disukai ibunya; tidak akan mengeluarkan kata-kata yang tidak
disenangi ibunya. Bila dia melihat ibunya mengerjakan sesuatu yang
berat, dia akan maju dan berkata: “Biar saya yang kerjakan itu, Bu. Ibu
istirahat saja.”
Engkau pun demikian, bukan?
Bila anakmu harus menjalani kesusahan dan kesulitan, engkau ingin
berdiri di depannya. Biarlah engkau yang menjalani kesulitan itu, asal
anakmu terhindar darinya. Engkau tak perlu mengatakan, ‘Ayah
mencintaimu, Nak.’ Engkau mengungkapkannya dengan tindakan!
Kita semua bilang kita mencintai Muhammad. Jasadnya memang tak bersama
kita. Tapi sebagai sosok pribadi, ia hadir senantiasa. Kita mendengar
ucapannya, nasihat-nasihatnya, ungkap-ungkapan hatinya – setiap saat.
Kita sebut namanya setiap hari.
Andai kita berada di
dekatnya pada saat dia harus pergi ke kota Tha’if. Tinggal di sana 10
hari, mengetuk pintu demi pintu untuk menyampaikan satu hal: Allah lah
tuhan mereka, yang wajib mereka imani dan sembah.
Dan tak barang seorang mendengarkannya.
Pada hari terakhir, malah sekelompok anak-anak menimpukinya dengan
batu-batu tajam sebesar kepalan tangan. Sekujur tubuhnya bersimbah
darah. Darah itu menetes, mengalir ke bawah tubuhnya, sampai ke telapak
kaki. Dan ketika darah itu mulai agak mengering, sandal yang ia kenakan
itu menempel ke telapak kakinya oleh darah yang mengering.
Jika kita berada di dekatnya ketika hendak masuk ke kota Tha’if saat
itu, dan kita mencintainya, maukah kita berkata padanya: “Ya Nabi, ya
kekasih, biarlah aku yang masuk ke kota itu, menyampaikan pesanmu kepada
penduduk kota, dan biarlah aku yang menerima akibatnya.” Lalu kita
masuk ke Tha’if, menyeru orang-orang kepada tauhid.
Maukah? Itu ungkapan cinta yang sejati. Maukah?
Ah, terlalu utopis. Bicara yang nyata saja hari ini. Ya, hari ini aku
mencintai Muhammad, seperti hari kemarin, dan esok. Aku selalu mencintai
Muhammad. Saya sebut namanya dalam shalat, dalam doa, dalam puja-puji
shalawat.
Tapi Muhammad mencintai ketertiban,
keteraturan, kebersihan, keindahan. Aku sering tidak mengabaikan aturan:
Menyalip kendaran orang lain dengan bangga; melempar sampah keluar
mobil tanpa rasa bersalah.
Muhammad mencintai, menyantuni orang-orang miskin dan terlantar. Aku lebih sering mendekati orang-orang ‘penting’ dan kaya.
Muhammad bersikap santun dan menyenangkan kepada orang-orang,
berkata-kata halus dan sopan. Aku lebih sering menghakimi, menggurui,
sinis – tapi atas nama ajaran Islam.
Muhammad sering
menahan lapar, meski di sekelilingnya banyak makanan. Aku malah berburu
makanan enak di luar kota sekalipun. Lalu setelah kenyang, mengucapkan
‘Alhamdulillah. Nikmat ya Allah.” – untuk mengemasi hawa nafsuku yang
terpuasi.
Muhammad lebih banyak menghabiskan waktunya
di atas sajadah, bertafakur dan bertasbih. Aku sangat singkat berada di
atas sajadah, dan berlama-lama di mall, kafe atau di depan teve.
Aku malu bilang aku mencintai Muhammad.
Tapi: Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ashaabihii, wa man tabi’ahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar