Kamis, 29 Oktober 2015

ISLAM VS ARAB

Sejak pemerintah Orde Baru tumbang tahun 1998, panggung Islam di Indonesia diisi tontonan munculnya sejumlah kelompok Islam pro-Arab. Kelompok ini tidak hanya marak di kota-kota besar, tapi juga di berbagai daerah terpencil. Mereka, dalam banyak hal, terlihat berlebihan dalam menyikapi Islam, muslim Arab dan dunia Arab. Salah satu ciri mendasar kelompok ini adalah menjadikan ''dunia Arab'' sebagai ''tipe ideal'' dalam beragama bagi kaum muslim non-Arab, termasuk muslim Indonesia.
Karena menganggap ''Islam Arab'' paling autentik dan ideal, mereka kemudian meniru segala hal yang dilakukan warga Arab. Cara menyapa dan berkomunikasi, misalnya. Mereka lebih suka memanggil dengan sebutan ikhwan/ikhwat atau akhi/ukhti daripada saudara/saudari, abi/umi ketimbang bapak/ibu atau ayah/bunda.

Dalam berpakaian pun, mereka meniru orang Arab dengan memakai jubah atau thawb lengkap beserta ghutrah (kain penutup kepala), bukan sarung, peci, kopiah atau blangkon. Kaum perempuan mengenakan ''jilbab gelombor'' dan hijab, bukan jarik dan kerudung atau pakaian khas daerah.
Tata cara makan dan jenis makanan juga meniru Arab. Makan dengan jari tangan. Buah kurma dipandang lebih utama ketimbang singkong dan ubi-ubian yang lain.
Tentu saja tidak ada salahnya meniru model begini. Setiap orang berhak dan bebas-merdeka untuk meniru siapa saja: orang Arab atau bule. Saya terkadang juga memakai jubah, suka makan kurma, dan hobi makan dengan jari tangan (kecuali kalau makan soto).
Saya juga memelihara jenggot, meskipun "minimalis". Tetapi, menjadi bermasalah jika menganggap (apalagi meyakini) bahwa yang mereka praktekkan lebih ''autentik keislamannya'', serta menghakimi muslim lain, yang tidak mempraktekkan, sebagai ''tidak Islami.''
Penting digarisbawahi bahwa Arab dan Islam merupakan ''dua dunia'' berbeda, dan menyamakan Islam dengan Arab adalah kesalahan fatal. Islam adalah agama universal yang lintas-geografi, etnis, dan suku-bangsa. Dunia Islam tidak terbatas ruang dan waktu.
Agama Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW diturunkan untuk semua umat manusia, tidak melulu buat bangsa Arab. Karena itu, kedudukan muslim Arab sama dan sederajat dengan muslim non-Arab.
Mengimajinasikan Arab sebagai ''dunia Islam'' juga kekeliruan besar. Arab bukanlah kawasan monolitik yang hanya berpenghuni etnis/suku Arab. Masyarakat Arab juga bukan melulu muslim. Tradisi dan kebudayaan masyarakat Arab yang tersebar di seantero Timur Tengah, Afrika Utara, dan kawasan lain, jauh dari kesan tunggal.

Dari Arab Saudi Hingga Djibouti
Sistem politik-pemerintahan masyarakat Arab jauh dari seragam. Arab, baik dalam pengertian geografi, demografi, adat-kebudayaan, maupun sistem politik-kenegaraan, adalah entitas majemuk dan kompleks. Margaret Nydell dalam buku Understanding Arabs, menjelaskan dengan baik pluralitas dan kompleksitas ''dunia Arab'' ini.
Dari segi demografi, ''kawasan Arab'' yang menurut organisasi Liga Negara-Negara Arab (League of Arab States) terdiri 22 negara, dari Arab Saudi sampai Djibouti, tidak melulu berpenghuni suku-bangsa Arab.
Di kawasan ini juga terdapat etnik Kurdi, Berber, Koptik, Persia, Assyria, Azeri, Turki, Circassia, Mandaean, Afrika, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk kaum migran dari India, Pakistan, Banglades, Filipina, serta sejumlah negara non-Arab Afrika, yang turut memadati kawasan ini.
Populasi kaum migran bahkan mendominasi sejumlah negara, seperti Bahrain, Uni Emirat Arab (kurang dari 20% yang Arab), dan Kuwait (hanya 40% yang Arab). Lebih dari separuh penduduk Oman yang berjumlah empat juta juga kaum pendatang. Lebih dari sepertiga penduduk di Arab Saudi adalah kaum migran.
Dengan banyaknya etnik non-Arab yang memenuhi ''teritorial Arab'' ini, maka sebutan ''kawasan Arab'', kadang-kadang tidak relevan lagi. Sebutan ''dunia Arab'' juga semakin kabur, mengingat ''dunia Arab'' juga menjadi ''dunia non-Arab''.
Dari aspek agama, masyarakat Arab juga bukan melulu muslim. Banyak masyarakat Arab Kristen (antara lain Koptik di Mesir, Maronite di Lebanon, dan Ortodoks di Suriah) yang oleh Liga Arab disebutkan berjumlah sekitar 20 juta jiwa. Ada Arab Druze yang tersebar di Asia Barat Daya.
Ada Arab Yahudi atau sering disebut Yahudi Mizrahi yang berbeda dari Yahudi Sephardi (Iberia dan Spanyol) dan Yahudi Ashkenazi (Jerman dan Prancis). Sejak 1948, banyak orang dari komunitas Arab Yahudi yang pindah ke Israel. Juga terdapat sejumlah agama minor seperti Baha'i, Zoroastrianisme, Mandeanisme, Yazidisme, Yasdanisme, Shabakisme, dan Yarsanisme.
Dunia Arab, dengan begitu bukan hanya ''properti'' milik etnik Arab dan kaum muslim, melainkan juga milik suku-bangsa dan agama-kepercayaan lain, yang turut berbagi adat, budaya, bahasa, makanan, pakaian, kesenian, dan lainnya.
Lantas, jika kaum muslim di Indonesia berlomba-lomba meniru adat-kebudayaan Arab, masyarakat Arab yang mana yang mereka maksud? Kalaupun meniru Arab Muslim, mana yang dimaksud? Arab Sunni dan Arab Syiah, masing-masing banyak faksi, dan beraneka ragam dalam praktek keagamaan dan ekspresi kebudayaan.
Dari segi sistem politik-pemerintahan, negara-negara Arab menganut berbagai sistem. Ada sistem monarki (meskipun berbeda nama pemerintahan dan implementasinya), seperti Arab Saudi, Oman, Bahrain, Yordania, Qatar, Maroko, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Ada pula yang menganut sistem republik, seperti Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Sudan, Tunisia, dan Yaman. Meskipun sejumlah negara secara eksplisit menyebutkan syariat Islam sebagai hukum negara, bukan berarti dengan serta merta ajaran, norma, etika, dan nilai-nilai keislaman dipraktekkan oleh penyelenggara negara dan warganya.

Jangan Ikuti "Abu Jahal" Kontemporer
Semakin mendalami kajian ''dunia Arab,'' semakin kompleks dan majemuk fakta, realitas, dan praktek sosial-politik-keagamaan di dalamnya.
Mengikuti ''Islam Arab'' yang dipandang (atau bahkan diyakini) oleh kelompok Islam ''pro-Arab'' di Indonesia lebih autentik, lebih Islami, atau lebih saleh, hanya ada di alam imajiner.
Masyarakat Arab tidak ubahnya masyarakat lain di planet ini, yang juga penuh dengan ketidaksalehan, kriminalitas, dan hal-ikhwal yang jauh dari norma-norma keagamaan dan kemanusiaan.
Masyarakat muslim Arab tidak serta merta ''Islami'' atau ''religius''. Semua tergantung pada masing-masing individu. Islam tidaklah sama dengan muslim. Tentu saja ada banyak masyarakat muslim Arab yang saleh, taat, dan baik hati.
Tetapi kesalehan dan kebaikan seseorang bukanlah ditentukan identitas etnis atau agama tertentu. Dengan kata lain, identitas keagamaan dan etnisitas bukanlah ukuran kebaikan dan keburukan seseorang.
Jika kelompok Islam "pro-Arab" di Indonesia berargumen bahwa mengikuti tradisi Arab berarti mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW atau ''sunah Rasul,'' apakah mereka lupa bahwa ''tanah Arab'' juga melahirkan para tokoh bengis pembenci Islam dan musuh bebuyutan Kanjeng Nabi sekaliber Abu Jahal dan Abu Lahab. Yang, seperti Nabi Muhammad SAW, juga berbahasa Arab, berjubah, pemakan kurma, dan sebagainya?
Hingga kini, masih banyak para "Abu Lahab" dan "Abu Jahal" kontemporer yang fasih berbahasa Arab, berjubah panjang, dan berjenggot lebat.
Jubah hanyalah pakaian, tidak ubahnya dengan sarung atau celana. Dan semua pakaian adalah ''produk sekuler''. Tidak ada ''pakaian religius'' atau ''busana Islami''. Manusialah yang membuat sebuah pakaian sekuler menjadi religius.
Bukan dengan cara meniru pakaian, bahasa, dan tradisi Arab yang membuat seorang muslim non-Arab menjadi mulia di mata Allah SWT, melainkan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip fundamental dan ajaran-ajaran universisal Islam.
Bagi para ''pemburu surga'', tempat mulia nan indah ini juga bukan didesain khusus untuk muslim Arab, melainkan buat siapa saja yang memenuhi standar kebaikan dan kesalehan di mata Allah SWT, yang bisa jadi justru orang-orang di sekitar kita yang tidak bisa berbahasa Arab, tidak tahu bangsa Arab, tidak pernah ke tanah Arab dan tidak pernah mengenakan busana Arab.
Umat Islam harus pandai memilih dan memilah mana doktrin Islam fundamental dan mana kebudayaan Arab, supaya bisa menangkap dan membedakan antara esensi universal keislaman dan tradisi partikular masyarakat Arab.
Kaum muslim juga perlu menyadari bahwa tidak semua tradisi dan kebudayaan masyarakat Arab yang lahir dalam konteks geografi padang pasir yang gersang dan kering-kerontang itu sesuai dengan tradisi dan kebudayaan bangsa Indonesia. Setiap tradisi ada batasnya.
Setiap produk kebudayaan ada kelemahannya. Maka, umat Islam di Indonesia akan menjadi ''lebih autentik'' jika menjadi ''muslim Indonesia'' dengan tetap menjunjung tinggi adat-kebudayaan dan mengamalkan nilai-nilai kearifan lokal suku-bangsanya sendiri, bukan malah menjadi ''muslim Arab'', ''muslim Pakistan'', atau ''muslim Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar