Syekh Ibn Ataillah berkata:
Fa man ra’a al-kauna wa lam
yasyhadhu fihi aw ‘indahu aw qablahu aw ba’dahu, fa qad a’wazahu wujud
al-anwar wa hujibat ‘anhu syumusy al-ma’arif bi suhub al-atsar.
Terjemahannya:
Sesiapa yang melihat wujud alam raya ini, tetapi tidak melihat Yang
Maha Benar di sana, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan cahaya, dan
awan-awan jejak wujud-Nya masih menghijabnya, menghalanginya untuk
melihat matahari pengetahuan tentang hakikat-Nya.
Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dalam dua pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Semua orang yang memiliki indera tentu saja bisa
melihat kenyataan-kenyataan bendawi yang ada di alam raya ini: matahari,
bulan, bintang-bintang, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan mineral.
Semua wujud-wujud fisik itu bisa diindera oleh siapa saja. Tetapi,
sebagaimana telah dikatakan oleh Ibn Ataillah dalam pembahasan
sebelumnya, semua kenyataan fisik itu gelap, tak bisa dipahami,
membingungkan.
Hanya cahaya kebenaran yang bisa membuat
kenyataan-kenyataan itu bersinar, dan bisa dipahami. Bagi seorang
ilmuwan, cahaya itu biasanya terjadi pada saat dia mengalami “aha
moment”, saat-saat di mana dia merasa plong karena tiba-tiba sesuatu
yang semula gelap menjadi terang karena dia telah menemukan “pola” atau
teori di baliknya.
Jika seseorang melihat semua kenyataan
bendawi itu, tetapi tak melihat cahaya kebenaran di sana, berarti dia
masih dalam kondisi kegelapan, sehingga tak melihat cahaya di sana. Dia
belum menemukan pengertian dan pemahaman. Dia masih terhijab.
Jika kita melihat alam raya, tetapi tak melihat cahaya Tuhan di sana,
berarti kita memang belum mendapatkan cahaya pengertian dari-Nya. Kita
masih diselimuti oleh kabut kegelapan. Kita masih terhalang oleh yang
nampak di mata, sehingga belum bisa melihat inti atau hakikat gaib yang
ada di balik yang tampak itu. Sebab, Yang Maha Benar memang sekaligus
juga Maha Gaib.
Tetapi Yang Maha Gaib meninggalkan
jejak-jejak-Nya dalam alam raya ini. Bagi orang yang mendapatkan cahaya
pengertian, ia bisa menemukan Yang Maha Gaib itu melalui jejak-jejak-Nya
di alam raya ini. Manakala ia tak bisa melihat-Nya, maknanya ia masih
terpenjara oleh jejak Tuhan, terpukau dengan jejak-jejak itu, sehingga
ia lupa dan tak mampu menemukan Tuhan di sana.
Jejak Tuhan di
alam fisik ini memang indah. Keindahan ini bisa menghijab atau
menghalangi seseorang sehingga ia tak bisa melihat hakikat yang ada
dibalik keindahan itu. Seorang yang beriman adalah orang yang beriman
akan sesuatu yang gaib, sesuatu yang tak tercerap oleh indera-indera
badan kita.
Sebaliknya orang yang “kafir” ialah dia yang terpenjara
pada yang nampak saja, pada sesuatu yang material, sehingga mengingkari
hal-hal yang di ada balik yang nampak.
Pengertian khusus. Syekh
Ibn Ataillah, dalam bagian ini, membuat suatu penggambaran yang indah
tentang kebenaran Tuhan, atau bahkan mengenai Tuhan itu sendiri.
Kebenaran Tuhan (al-haqq, al-haqiqah), atau Tuhan itu sendiri, ada di
dalam segala sesuatu, ada pada segala sesuatu, ada sebelum sesuatu, dan
ada setelah sesuatu.
Dia ada di dalam segala sesuatu sebagai
sebuah esensi (“fihi”). Dia ada pada segala sesuatu sebagai sebuah
proses (“‘indahu”). Dia juga sebab dari segala sesuatu (“qablahu”). Dan
Dia juga akibat dari segala sesuatu (“ba’dahu”). Dengan kata lain, dia
meliputi segala sesuatu dari segala sudut. Dia adalah yang nampak,
tetapi sekaligus tersembunyi. Dia nampak dalam ketersembunyian-Nya. Dia
tersembunyi dalam kenampakan-Nya.
Makna ungkapan Ibn Ataillah ini
memang memuat sebuah misteri, mengandung banyak kemungkinan makna –
fihi, ‘indahu, qablahu, ba’dahu. Tuhan itu ada di dalam sesuatu, pada
sesuatu, sebelum sesuatu, dan sesudah sesuatu. Ini, bagi saya, ungkapan
mistis dan sekaligus puitis. Tak bisa dipahami dengan pengertian
lahiriah saja.
Syekh Ibn ‘Ajibah mengartikan ungkapan ini dengan
mengutip ungkapan sebagian para orang-orang yang telah mencapai
pengertian atau ‘arifin. Kata sebagian oran-orang ‘arif: Orang-orang
pada umumnya melihat alam bendawi, alam fisik, dan setelah itu –sesudah
melalui tahap refleksi dan perenungan— baru dia melihat “mukawwin” atau
Tuhan yang mengadakan sesuatu itu. Sementara orang-orang ‘arifin, mereka
tak melalui tahap yang gradual seperti itu. Sebab mereka tak melihat
kecuali Tuhan itu sendiri. Dia tak melihat wujud fisik. Dia langsung
melihat Yang Maha Gaib.
Dengan kata lain, orang-orang yang telah
mencapai tahap ma’rifat, ia tak melihat jejak-jejak Tuhan di alam raya
itu. Sebab, jejak-jejak itu hanya sesuatu yang semu saja. Yang mereka
lihat hanya Tuhan. Kemanapun dia memalingkan muka, di sana dia hanya
melihat Tuhan saja. Mereka melihat Tuhan di dalam, pada, sebelum dan
sesudah segala sesuatu.
Orang semacam ini ialah orang yang bisa
kita sebut sebagai orang rohani, seorang spiritualis, seorang esoteris,
seorang yang ‘arif, seorang yang “tahu” hakikat segala sesuatu. Saya
tahu, ini bukan tahap yang bisa dicapai oleh semua orang. Tetapi,
minimal, kita tahu bahwa ada taham semacam ini, dan kita pelan-pelan,
melalui kesabaran, berusaha mencapainya. Orang yang telah mencapai tahap
semacam ini, bisa kita sebut sebagai wali atau kekasih Tuhan. Seluruh
ucapannya adalah kebijaksanaan. Seluruh tindakannya adalah gerak-gerik
Tuhan.
Apa pelajaran dari sini? Jika anda belum bisa memahami
sesuatu yang ada di sekitar anda, itu artinya cahaya ketuhanan belum
datang. Anda masih terhijab. Telekung yang menutup mata batin anda belum
tersingkap. Maknanya: anda masih harus terus berusaha agar mata batin
anda kian tajam. Anda harus membersihkannya, sehingga anda sampai pada
suatu titik ketika cahaya dari Tuhan itu datang, lalu anda mencapai
pemahaman. Tetapi anda jangan berhenti berusaha untuk meraih pemahaman,
untuk meraih cahaya, untuk mencapai pengertian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar