SEHAT MURAH ALAMI.....MENGATASI SEGALA PENYAKIT....KLIK DI SINI
TENANG DI TENGAH KERAMAIAN
Syekh Ibn Ataillah berkata:
La tastaghrib wuqu’ al-akdar ma dumta fi hadzihi al-dar, fi innaha ma
abrazat illa ma huwa mustahiqqun wasfaha, wa wajibun na’tuha.
Terjemahan:
Jangan merasa aneh jika engkau menjumpai “kekotoran” selama engkau
masih hidup di dunia ini. Sebab dia hanyalah menampakkan hal-hal yang
memang layak disifati dengan kekotoran itu, hal-hal yang memang
seharusnya digambarkan demikian.
Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Dalam kehidupan manusia, sering dijumpai hal-hal yang
“membingungkan”, sesuatu yang oleh Ibn Ataillah digambarkan dengan
“akdar”, kotoran, sesuatu yang membuat sedih, galau, dan gelisah. Selama
ini kita masih berada dalam jasad dan tubuh, selama itu pula kita akan
mengalami hak-hal semacam ini.
Dengan kata lain, konsekwensi
hidup dengan dan dalam wadag atau jasad adalah kita akan mengalami
kegelisahan, kesakitan, penderitaan, kegalauan. Semuanya itu akan selalu
datang dan pergi. Saat pengalaman-pengalaman itu datang, janganlah kita
merasa heran, bingung, atau bahkan mencerca Tuhan.
Hidup manusia
memang melalui tahap-tahap yang menarik. Yang pertama adalah tahap
“sorga” alamiah. Tahap ini dialami oleh bayi yang masih ada di dalam
rahim ibunya: bayi di dalam rahim tidak pernah hirau dengan keramaian
dunia, sebab dia “menyepi” dan terisolasi di dalam gua ketenangan, yaitu
rahim ibunya. Seluruh kebutuhan nurtisinya terpenuhi. Seorang bayi tak
mengalami kesedihan dan penderitaan karena dia tidak menyadari alam di
sekitarnya. Dia masih pada tahap alamiah dan menyatu dengan alam.
Tahap kedua adalah saat ia lahir dan keluar dari “gua khalwat” di dalam
rahim ibunya, dan bayi itu kemudian berada di tengah-tengah alam, di
tengah-tengah keluarga dan komunitas. Pelan-pelan dia mulai menyadari
lingkungan di sekitarnya, mulai mengerti apa yang terjadi di
sekelilingnya. Saat dia mengerti itu lah, pelan-pelan dia akan mengalami
penderitaan, tetapi juga sekaligus kegembiraan. “Firdaus alamiah” yang
membahagiakan saat ia masih ada di dalam rahim ibunya sekarang sudah tak
ada.
Dia seperti Adam yang terjatuh dari “ketenangan” dan kebahagiaan di Taman Eden (Firdaus), dan harus bekerja keras di bumi.
Kehidupan di “bumi”, di tengah-tengah masyarakat itu berlainan sama
sekali dengan kehidupan di dalam rahim ibu. Di dalam rahim ibu, yang ada
adalah “biological tranquility”, ketenangan biologis-alamiah, tanpa
gangguan apapun. Di dalam masyarakat manusia, dia mulai mengalami
peristiwa yang menggembirakan dan menyedihkan. Sebab, kehidupan di dunia
ini, kata Syekh Ibn Ajibah, adalah “dar ahwal, wa manzil furqah wa
intiqal.” Dunia adalah tempat terjadinya segala penderitaan, perpisahan,
perpindahan. Semuanya itu memang menggelisahkan.
Tetapi, jika
seseorang bisa menyikasi perubahan-perubahan dalam hidup itu dengan
tenang, dengan waspada, dengan sikap rela dan “sumeleh” (menyerahkan
diri), dia tak akan terganggu dengan semua itu. Dia akan seperti Buddha
yang dengan tenang mengalami meditasi dan ketenangan walau di tengah
keramaian.
Kuncinya adalah: Jangan merasa galau, gelisah, dan heran.
Pengertian khusus. Tuhan kerapkali menampakkan diri dengan cara yang
tak terduga-duga. Dia menampakkan diri secara indah dalam
pengalaman-pengalaman indah yang kita alami dalam kehidupan ini. Dia
juga menampakkan diri dalam pengalaman-pengalaman sedih yang kita
derita. Dia menampakkan diri dalam setiap gejala dan peristiwa yang kita
alami. Yang menggalaukan kita dan yang menggembirakan kita – dua-duanya
adalah bagian apa yang oleh Syekh Ibn Ajibah disebut “tajalliyat
al-Haqq”, penampakan Yang Maha Benar.
Yang Maha Benar menampakkan
diri dengan dua cara: melalui sifat “jamal” atau keindahan-Nya, dan
melalui sifat “jalal” atau keagungan-Nya. Saat kita mengalami pengalaman
yang menyenangkan, Tuhan sedang menampakkan melaui sifat keindahan-Nya.
Ketika kita mengalami penderitaan, Tuhan menampakkan diri kapada kita
lewat sifat keagungan-Nya.
Bagi seorang yang bijak, yang ‘arif,
seorang yang telah tahu hakikat hidup, dua pengalaman itu sama saja bagi
dirinya. Baik saat gembira atau menderita, dia akan bersikap tenang,
“stoic”, tak terganggu oleh perubahan-perubahan dalam pengalamannya itu.
Sebab ia tahu, semuanya itu berasal dari sumber yang sama: Tuhan.
Dia akan menerima penderitaan dengan senyum. Tetapi dia juga aka
mengalami kebahagiaan dengan sikap semenjana, tidak meluap-lupa. Dia
tenang seperti air kolam di pagi hari, sebelum ada angin menghembus,
sebelum ada anak-anak yang bermain berkecipak di sana. Dia, dalam
keadaan apapun, bersikap tenang seperti Buddha yang dalam keadaan
meditasi.
Pelajaran yang bisa kita petik dari sini adalah: Kita
harus bisa mengembangkan sikap “self control”, bisa menguasai diri,
tidak hanyut dalam perasaan sesaat, baik perasaan gembira atau
menderita. Kemampuan mengontrol diri ini yang akan membebaskan kita dari
penderitaan hidup, dan bisa kembali ke “kebahagiaan awal” saat kita
berada di dalam rahim ibu kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar