CURIGAILAH DOAMU!
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Thalabuka minhu ittihamun lahu, wa thalabuka lahu ghaibatun minka ‘anhu,
wa thalabuka li-ghairihi li-qillati haya’ika minhu, wa thalabuka
min-ghairihi li-wujudi bu’dika minhu.
Terjemahan:
Saat engkau meminta kepada Tuhan,
Itu adalah sejenis tuduhan tersembunyi padaNya.
Saat engkau mencariNya,
Itu pertanda engkau alpa dan abai terhadapNya.
Saat engkau mencari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah kehilangan rasa malu padaNya.
Saat engkau meminta dari orang lain selain Dia,
Itu pertanda engkau telah menjauh dariNya.
Mari kita ulas dan pahami kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah kali ini
dengan dua pendekatan dan pengertian: pengertian umum dan khusus.
Pengertian umum. Saat kita meminta sesuatu kepada Tuhan, itu mengandung
tuduhan tersembunyi pada Dia bahwa Dia seolah-olah tak tahu apa yang
kita butuhkan, apa yang terbaik untuk kita; seolah-olah kitalah lebih
tahu tentang apa yang paling pas untuk kita. Saat kita meminta sesuatu
pada Tuhan, kita secara tak langsung menuduhNya telah mengabaikan
(ihmal) kita.
Ini jelas pengertian yang sangat mendalam, dan
bisa menjebak seseorang untuk memahaminya secara salah. Sering kali
kebijaksanaan para sufi begitu dalam maknanya, sehingga mudah di
salah-pahami oleh mereka yang belum menyelam dalam lautan kesejatian
wujud. Di mata seorang yang belum mencapai hakikat sesuatu,
kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dituduh berlawanan dengan syariat.
Sebab syariat memerintahkan kita untuk berdoa.
Bagaimana mungkin
berdoa dianggap sebagai tuduhan tersembunyi pada Tuhan seperti
dikemukakan Ibn Ataillah itu? Ini jelas tidak cocok dengan syariat!
Seperti kita tahu sendiri, dalam bagian terdahulu, kita sudah belajar
dari Syekh Ibn Ataillah: bahwa doa adalah tindakan kemuliaan yang harus
dilakukan oleh seorang hamba. Tetapi, yang dianjurkan dalam konteks
mistik atau kesufian bukanlah doa yang mengharap pamrih, doa yang ingin
mengatur-atur Tuhan, seolah-olah kita adalah majikan bagi Tuhan.
Pada bagian ini, kita diajak oleh Syekh Ibn Ataillah untuk naik
setingkat lebih tinggi lagi dalam tangga perjalanan spiritual. Pada
tingkatan ini, kita bahkan harus mencurigai doa itu sendiri. Sebab, saat
kita berdoa, jangan-jangan jauh di dalam hati kecil kita ada tuduhan
tersembunyi pada Tuhan. Tuduhan itu, kalau diverbalisasikan, kira-kira
akan berbunyi demikian, “Tuhan, masak engkau tak tahu sih, aku sedang
butuh ini dan itu? Masak aku harus meminta secara terus terang kepadaMu?
Bukankah Engkau Maha Tahu?”
Kita harus mencurigai doa, tetapi
bukan meninggalkan doa sama sekali. Kita tetap berdoa. Tetapi saat doa,
kita harus waspada agar tak terjatuh dalam jebakan “tuduhan tersembunyi”
kepada Tuhan semacam itu.
Ilmu tasawwuf adalah ilmu yang,
antara lain, sangat peduli pada gerak-gerik hati manusia, termasuk
gerak-gerik yang paling tersembunyi yang tidak kita sadari. Dalam
tingkatan tertentu, tasawwuf adalah semacam psikoanalisa, tetapi dalam
konteks kehidupan spiritual. Tujuan akhir psikoanalisa yang sekular
seperti diperkenalkan oleh Freud, dan psikoanalisa ala kaum sufi, pada
dasarnya sama: yaitu membantu manusia merealisasikan kesehatan mental
dan spiritual/rohani.
Pada bagian berikutnya, Syekh Ibn Ataillah
mengemukakan sebuah kebijaksanaan lain yang sangat mendalam: Saat kita
mengatakan bahwa kita mencari Tuhan, pada titik itulah kita sebetulnya
sedang lupa dan abai pada Tuhan. Apa gunanya kita mencari Tuhan, jika
kita terus ingat dan hadir bersama Tuhan? Mencari sesuatu adalah
pertanda bahwa sesuatu itu sedang tak ada (ghaibah) di tangan kita.
Saat engkau mencari selain Tuhan, engkau sejatinya tak punya rasa malu
pada-Nya. Sebab Tuhan ada di mana-mana, bahkan di dalam pekerjaan kantor
yang sedang anda lakukan. Saat anda mengarjakan tugas-tugas kantor, dan
anda melakukannya untuk pamrih selain Tuhan, misalnya semata-mata
(ingat: semata-mata!) hanya untuk meraih gaji, anda sebetulnya tak tahu
malu. Sebab Tuhan ada di sana, tetapi anda mencari hal yang lain.
Ini sama saja dengan situasi semacam ini: Di sebuah event besar di mana
hadir seorang pemain bola kelas dunia seperti Christiano Ronaldo atau
Lionel Messi, anda justru ingin “selfie” dan berpotret dengan pemain
bola tak ternama dari Kulonprogo atau Kedung Kimpul (yang kebetulan
hadir di sana), ketimbang memburu selfie dengan pemain kelas dunia itu.
Anda, dalam situasi seperti itu, benar-benar tak tahu malu, tak tahu
diuntung!
Saat anda meminta sesuatu kepada seseorang selain
Tuhan, itu jelas pertanda bahwa anda sedang jauh dari Tuhan. Sebab,
Tuhan begitu dekat kepada anda tetapi anda justru meminta kepada pihak
lain yang sebetulnya jauh dari anda, walau secara fisik dekat dengan
anda.
Sekali lagi, kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini jangan
disalah-pahami sebagai larangan untuk meminta tolong dari teman atau
menolong teman. Kebijaksanaan mistik harus dipahami secara tepat, bukan
ditelan mentah-mentah. Jika itu yang anda lakukan, anda akan mengalami
apa yang oleh orang Jawa disebut “klèlègèn” -- menelan sesuatu yang
menyebabkan anda tersedak.
Maksud kebijaksanaan Syekh Ibn
Ataillah yang terakhir itu ialah: Anda jangan tergantung pada
pertolongan orang lain. Pada akhirnya, anda harus bersandar pada diri
anda sendiri, pada Tuhan. Sebab Tuhan ada dalam diri anda. Anda, dengan
kata lain, harus mandiri, otonom! Bukan heteronom.
Pengertian
khusus. Kata Syekh Ibn Ajibah: Al-sukunu tahta majari al-aqdar afdhalu
‘inda al-‘arifina min al-tadarru’i wa al-ibtihal.
Artinya kira-kira:
Bagi orang-orang yang sudah mencapai tahapan ma’rifat (memahami
kesejatian Tuhan), diam dan mengalir mengikuti kehendak/takdir Tuhan,
jauh lebih baik ketimbang meminta-minta, memohon-memohon kepadaNya. Jika
kita memakai ungkapan yang populer dalam bahasa Inggris, “flowing with
the flow”, mengalir bersama kehidupan. Tak terlalu neka-neka. Tak
terlalu banyak cas-cis-cus.
Jika seorang ‘arif, orang yang bijak
berdoa, mereka melakukannya bukan dalam kerangka mengharap hasil dari
sana. Mereka berdoa secara, meminjam istilah filosof Jerman Immanuel
Kant, deontologis. Dia berdoa karena memang berdoa adalah kewajiban
seorang hamba kepada Tuhannya. Bukan karena alasan yang lain, misalnya
agar Tuhan mengabulkan doa itu dan kita memperoleh “material reward”,
hasil yang kasat mata.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari
sini? Seorang beriman dan seorang yang bijak harus benar-benar bisa
menata gerak-gerik hatinya sehingga tidak keliru tempat, dan salah
sasaran, “off-mark”. Saat kita berdoa, jangan sampai hati kita salah
langkah, sehingga secara diam-diam kita menuduh Tuhan telah abai pada
kita.
Saat kita minta pertolongan dari orang lain, jangan pula
kita salah menata niat dan mengatur hati, sehingga dalam diri kita
muncul “sense of dependency”, perasaan tergantung pada orang lain,
sehingga kita kehilangan otonomi, rasa kemandirian. Sebab merasa
tergantung pada orang lain bisa merupakan penyakit mental yang
destruktif. Ini yang hendak diobati oleh tasawwuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar