MEDITASI IBN ATAILLAH (3):
BAGAIMANA ENGKAU BISA SEMBAHYANG SAAT MABUK?
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Am kaifa yathma’au an yadkhula khadrata ‘l-Lahi wahuwa lam yatahhar min janabat ghafalatih?
Terjemahan:
Bagaima mungkin seseorang berharap masuk ruang kehormatan Tuhan,
sementara hatinya belum bersih dari kotoran kelalaian dan kealpaan?
Ini adalah meditasi dan renungan Syekh Ibn Ataillah yang ketiga, dan
masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya: hubungan antara
rohani/batin manusia dan Tuhan. Mari kita ulas renungan
ini dengan dua
pengertian: pengertian awam/umum dan khusus.
Pengertian umum.
Kita masih berbicara bagaimana memusatkan ruang batin kita pada tujuan
yang esensial dalam hidup. Saat lalai dari tujuan, dan kita tenggelam
dalam “prenthil-prenthil” (tetek bengek) perkara yang bukan merupakan
bagian dari tujuan hidup yang utama, kita sebetulnya megalami keadaan
lalai dan mabuk. Orang yang mabuk tentu kehilangan keseimbangan,
konsentrasi, fokus.
Dalam keadaan hilang fokus, kita akan sulit
menyelesaikan tugas-tugas pokok kita. Pikiran kita cerai berai,
kocar-kacir tak tentu, mengalami disorientasi, sehingga kita kesulitan
untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
Keberhasilan dalam
lapangan apapun dalam kehidupan ini hanya bisa dicapai jika seseorang
bisa mengeliminasi semua hal yang bersifat distraktif, mengganggu
pikiran, dan memobilisir seluruh perhatian dan tenaga mentalnya kepada
satu tujuan yang telah dipilih. Kata kuncinya adalah, seperti
di-“ngendikakke” atau dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah, “mencucikan
diri dari sifat lalai”. Kata yang dipakai di sini menarik: lalai dan
alpa adalah seperti hadath atau kondisi ketidak-sucian.
Dalam
Islam, jika seseorang mau melakukan salat, ia harus menyucikan diri
secara spiritual dan kejiwaan. Laku penyucian itu disimbolisasikan lewat
kegiatan bersuci yang disebut wudu (untuk kotoran/hadath kecil) atau
mandi (untuk kotoran/hadath besar).
Seseorang yang dalam
hidupnya gagal memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang penting dan
pokok adalah seperti orang yang sedang kentut dalam salat. Dia berada
dalam kondisi “hadath” atau kotor. Ia harus berwudu, menyucikan diri,
dari segala bentuk distraksi, gangguan yang melengahkannya dari tujuan
hidup.
Hanya setelah bersuci, berwudu seperti itu dia akan bisa
kembali ke “khittah” atau jalan utama, jalan hidup yang benar. Dan jika
ia bisa mempertahankan kondisi suci seperti itu, kondisi terbebas dari
“attachment” atau ikatan-ikatan dengan hal-hal yang distraktif, dia akan
bisa mencapai tujuan besar dalam hidup: yaitu kebahagiaan yang tercapai
karena dia berhasil mengerti dan memahami siapa dirinya yang
sesungguhnya, “real self”-nya. Kebahagiaan yang terselenggara karena dia
mengetahui sumber dari segala sumber kehidupan, yaitu Tuhan.
Pengertian khusus. Dalam Quran ada sebuah ayat yang menegaskan demikian:
Janganlah kalian berdekat-dekat kepada salat pada saat mabuk! (QS
4:43). Syekh Ibn Ajibah memberikan tafsir “mistik” kepada ayat ini. Yang
dimaksud “mabuk” di sini bukan sekedar mabuk biasa, mealainkan mabuk
karena seseorang memenuhi hati dan ruang batinnya dengan segala hal yang
bersifat kebendaan, hal-hal yang material, hal-hal yang membuat
seseorang lalai dari Tuhan.
Pada saat hati seseorang penuh oleh
pikiran mengenai hal-hal kebendaan, dia bisa lalai, tenggelam dalam
pikiran itu, lupa pada tujuan hidup yang utama, pada Tuhan yang
merupakan sumber dan tujuan kehidupan manusia; ia lalai dan tenggelam
dalam pikiran itu, seperti lalainya orang mabuk.
Dalam keadaan
engkau sedang mabuk dengan hal-hal yang bersifat duniawi, engkau masih
bisa melakukan salat, dan salat anda sah menurut hukum fikih yang
normal. Tetapi menurut hukum kebatinan, kerohanian, salat yang dilakukan
pada saat pikiran dan batin kita mabuk dan sibuk dengan urusan-urusan
duniawi, salat semacam itu batal, tidak sah secara rohaniah. Sebab
engkau salat dalam keadaan mabuk.
Salat hanya akan membawa
manfaat rohaniah yang besar jika kita melakukannya tidak dalam keadaan
“mabuk benda”. Salat yang membawa faedah rohaniah adalah salat yang
dilakukan dalam keadaan rohani dan batin kita hadir terus bersama Tuhan.
Itulah yang disebut “hadrah” atau “hudur”. Ada istilah dalam bahasa
Inggris yang biasa dipakai dalam membahas tema-tema kesufian: yaitu
presence yang maknanya sama dengan “hudur”. Kata ini kemudian dipinjam
dalam bahasa Indonesia, menjadi “hadir”.
Menurut Syekh Ibn
Ajibah, ada tiga jenis kehadiran: kehadiran hati (hadrat al-qulub),
kehadiran roh (hadrat al-arwah), dan kehadiran batin yang paling
terdalam yang disebut dengan “sirr” atau rahasia rohaniah (hadrat
al-asrar).
Kehadiran hati adalah kehadiran tingkat pertama bagi
orang-orang yang sedang memulai perjalanan tasawwuf. Mereka ini disebut
“al-sa’irin”. Kehadiran roh adalah kehadiran yang dicapai oleh
orang-orang yang mulai mampu melihat kilatan-kilatan rahasia ketuhanan,
orang-orang yang disebut dengan “al-mustasyrifin”. Kalau di pesantren,
kita biasa memakai istilah “nginguk-nginguk” (istisyraf): yakni melihat
dengan sekelebat, sebentar saja.
Kehadiran ketiga adalah
kehadiran bagi mereka yang disebut dengan “al-mutamakkinun”, orang yang
sudah mencapai puncak gunung rahasia ketuhanan dan menetap “anteng” di
sana.
Intinya: proses menuju Tuhan melalui kegiatan salat adalah
seperti orang yang melakukan perjalanan, “journey”. Sebuah perjalanan
tidak bisa dilakukan “sak deg sak nyet”, mendadak langsung sampai di
tujuan. Harus ada proses gradual, bertahap.
Salat, jika kita
lakukan dengan cara pandang kebatinan atau tasawwuf, pada dasarnya
adalah “mental training”, atau bahkan “spiritual training”: olah jiwa,
melatih bagaimana mengendalikan hati dan pikiran agar pelan-pelan kita
sampai pada tujuan akhir, yaitu hadir di ruang suci ketuhanan.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari renungan Syekh Ibn Ataillah ini?
Dalam hidup ini, jika anda mampu, berusahalah untuk mempertahankan diri
terus dalam keadaan bersuci, keadaan berwudu. Setiap anda kentut dan
mengalami kondisi “hadath” atau kotor, segeralah burwudu kembali.
Yang dimaksud dengan berwudu di sini bukan wudu fisik: mencuci muka,
tangan, kepala, telinga dan kaki dengan air. Bukan. Itu adalah wudu
lahiriah. Yang dimaksud di sini adalah wudu kebatinan, wudu rohani, wudu
esoterik, wudunya orang-orang yang ingin membersihkan hatinya dari
hal-hal yang bersifar kebendaan, sehingga lalai dari Tuhan.
Berwudu dalam pengertian rohaniah artinya adalah kembali kepada kondisi
“eling”, ingat, kembali kepada jalan utama menuju Tuhan. Saat anda
lengah, sucikanlah, wudukanlah rohani anda. Kembalilah kepada tujuan
utama dalam kehidupan anda, kepada Tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar