TUJUAN AKHIR KITA: MENJADI INSAN KAMIL, MANUSIA YANG SEMPURNA, “UBERMENSCH”
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Ma aradat himmatu salikin an taqifa ‘indama kusyifa laha illa wa
nadathu hawatif al-haqiqati: “Alladzi tathlubu amamaka!” Wa
la-tabarrajat dzawahir al-maknunati illa wa nadathu haqa’iquha: “Innama
nahnu fitnatun fa-la takfur!”
Terjemahan:
Tak seorang
“salik” pun (orang yang melakukan perjalanan menuju Tuhan) yang merasa
puas dengan pemahaman tertentu yang disingkapkan kepadanya, kecuali pada
momen seperti itu akan ada kebenaran yang memanggil-manggil: “Jangan
berhenti, yang engkau cari sudah ada di depanmu!”
Tak ada rahasia Tuhan
yang tersingkap kepada seseorang kecuali ada suara kesejatian yang juga
akan memanggil-manggil: “Aku ini hanyalah ujian, jangan terkecoh!”
Mari kita bahsa kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah yang sangat mendalam
maknanya ini dengan dua pendekatan dan pengertian: pengertian umum dan
khusus.
Pengertian umum. Kita seringkali merasa puas dengan
kesuksesan-kesuksesan kecil yang kita capai, lalu mengabakan kemungkinan
untuk meraih kesuksesan berikutnya yang lebih besar. Manusia memang
memiliki watak yang khas, yaitu puas dengan “kenikmatan jangka pendek”,
dengan “instant gratification”.
Ini seperti keadaan yang
seringkali dialami oleh para penulis. Demi mendapatkan uang yang cepat,
seorang penulis kerap menjual karyanya secara “putus”. Padahal, jika
menjualnya dengan sistem “royalti”, dia akan mendapatkan “pahala” atau
honorarium dalam jangka panjang secara terus-menerus.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita pasti sering mengalami sendiri atau melihat
orang lain yang terjebak pada kepuasan jangka pendek, kepada
keberhasilan yang ada sekarang, lalu lupa untuk berusaha lebih keras
lagi, sehingga bisa meraih kesuksesan yang lebih besar lagi di masa
depan. Kesuksesan kadang bisa menjadi “hijab” atau penghalang untuk
meraih kesuksesan berikutnya yang lebih besar.
Meminjam bahasa
Syekh Ibn Ataillah yang diilhami oleh sebuah ayat dalam Quran (QS
2:102): Aku ini hanyalah fitnah, ujian, janganlah terkecoh. Sebuah
keberhasilan kerap merupakan “fitnah” atau ujian. Karena itu kita tak
boleh terkecoh dengan keberhasilan pada tahap tertentu.
Tetapi,
jika kita mau mendengarkan suara hati kecil kita, suara Tuhan yang ada
dalam diri kita, setiap kita merasa puas dengan pencapaian tertentu,
biasanya ada suara dalam diri kita yang mengatakan, “Ayo, bekerja lebih
keras lagi, sebab di depanmu ada kesuksesan yang lebih besar. Jangan
berhenti!” Orang yang malas, sudah pasti tak akan mendengar suara ini.
Dia akan lebih memilih berhenti, menikmati keberhasilan yang ada
sekarang, dan tak berusaha lebih jauh lagi.
Jika dipahami secara
dangkal, ajaran Ibn Ataillah ini seperti mengajarkan kita untuk
“greedy”, rakus, mau lebih, tak puas dengan apa yang ada, “kemrungsung”.
Ini jelas tidak benar. Kita harus bisa membedakan mana wilayah “nrima”,
menerima apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita, dan mana wilayah
“ikhtiar” atau usaha.
Sejauh menyangkut takdir/ketentuan Tuhan,
kita memakai filosofi “tulus menerima”, seperti dijarkan oleh Ibn
Ataillah dalam bagian sebelumnya. Sikap ini harus kita miliki agar kita
terhindar dari penyakit mental karena depresi atau tekanan kejiwaan yang
membuat kita sengsara.
Tetapi pada wilayah usaha, ikhtiar,
“struggle”, kita diajarkan filosofi yang lain: kita harus bekerja keras,
tidak mudah puas dengan keberhasilan kecil, sementara kita punya
potensi lebih untuk meraih keberhasilan yang juah lebih “gede”. Jika
kita berhenti dan puas dengan kesuksesan kecil, itu sama saja dengan
menyia-nyiakan “takdir”, mengabaikan potensi yang ada pada diri kita
untuk mencapai kelas yang lebih tinggi lagi.
Keadaan yang sama
juga bisa terjadi pada seorang “salik”, orang yang menempuh “spiritual
journey”, perjalanan ketuhanan menuju kepada Sang Hakikat. Seorang salik
kerap merasa puas dengan “ahwal”, keadaan spiritual, dan “maqam”, atau
level spiritual tertentu, sehingga lupa untuk berjalan terus guna meraih
ahwal dan maqam berikutnya.
Pada momen “kemalasan” seperti itu,
biasanya ada suara kebenaran, atau “hatif”, yang memanggil-manggil
dalam diri orang bersangkutan, “Jangan berhenti, sebab apa yang engkau
cari sudah dekat, tinggal beberapa langkah lagi.” Jika orang itu jujur
dan mau mendengarkan suara hati itu, pasti ia akan tergerak untuk
berusaha dan berjalan lebih jauh lagi untuk mencapai maqam spiritual
yang lebih tinggi.
Apa yang dikatakan oleh Syekh Ibn Ataillah
ini, sebetulnya, berlaku bukan saja dalam konteks “suluk” atau
perjalanan spiritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam
konteks profesi dan pekerjaan. Taruhlah anda seorang sutradara yang
sedang mengerjakan film. Anda, karena kerja keras anda bersama seluruh
crew yang lain, merasa puas dengan film itu.
Tetapi, jika anda
jujur pada diri sendiri, anda mungkin akan mendengar suara dalam diri
anda, “Your work is great. But you could have done better than this, if
you want.” Kamu memang telah membuat film yang bagus. Tapi kalau kamu
mau, kamu bisa bekerja lebih keras lagi dan membikin film itu lebih baik
lagi dari yang ada sekarang.
Pada setiap artis atau kreator,
pasti ada momen-momen seperti ini: momen ketika kita merasa bahwa apa
yang kita kerjakan sebetulnya bisa lebih baik lagi. Tetapi karena malas,
dan puas hanya dengan keberhasilan kecil, kita akhirnya berhenti dan
tak mau bekerja lebih keras lagi.
Akhirnya, kita menyesal di
kemudian hari, dan kelak berbisik pada diri sendiri, “Andai saya dulu
mau bekerja sedikit lebih keras lagi, mungkin saya akan mencapai lebih
dari apa yang ada sekarang.”
Pengertian khusus. Dalam dunia sufi,
dikenal suatu pengalaman spiritual yang disebut “fana’” atau lebur dan
menghilang dalam samudera ketuhanan. Ini tak bisa diketahui kecuali oleh
mereka yang pernah mengalaminya. Ada tiga jenis fana’ atau
penghabluran. Fana’ dalam af’al atau tindakan Tuhan. Fana’ dalam
sifat-sifat dan asma/nama Tuhan. Dan, terakhir, fana’ dalam dzat atau
esensi Tuhan.
Ketika kita “lebur”, hanyut dalam tindakan Tuhan,
kita akan merasakan kenikmatan. Segala kejadian dan peristiwa di dunia
ini kita hayati sebagai tindakan atau “af’al” Tuhan. Tak ada tindakan di
dunia ini yang tak ada Tuhan di baliknya. Walaupun itu tindakan
kejahatan. Saat kita sudah bisa menghayati pengalaman “hanyut” semacam
ini, kita akan mendapatkan “spiritual gratification”, kenikmatan dan
kepuasan spiritual yang luar biasa.
Tetapi, saat mengalami
kenikamatan itu, kita akan dipanggil oleh “suara gaib” yang ada dalam
diri kita, “Jangan puas dengan pengalaman itu, sebab masih ada kelas
lebih lanjut yang lebih tinggi. Jangan berhenti di sana, sebab yang kau
nikmati itu hanya fitnah belaka!” Jika seseorang mau mendengarkan
panggilan gaib ini, dia akan berusaha lebih keras lagi, tidak berhenti.
Dia akan mencoba meraih fana’ berikutnya: yaitu hanyut dalam nama dan
sifat Tuhan.
Tuhan memiliki nama dan sifat yang tak terhingga
jumlahnya. Hanya seorang yang ‘arif dan mengerti rahasia ketuhanan yang
mengerti sifat dan nama Tuhan dengan sesunguhnya. Memang ada sembilan
puluh nama Tuhan yang disebutkan dalam Quran. Tetapi itu hanyalah contoh
saja.
Nama dan sifat Tuhan jumlahnya tak terbatas, seperti doa
Nabi Muhammad: “la uhsi tsana’an ‘alaika, anta kama atsnaita ‘ala
nafsika”. Aku (maksudnya Nabi) tak bisa menghitung seluruh sifat baik
yang layak untukMu, Tuhan. Sebab Engkaulah yang lebih tahu sifat-sifat
baikMu. Engkau adalah seperti sifat-sifat yang Engkau nisbahkan pada
diriMu.
Seseorang yang menyelam dan tenggelam dalam rahasia sifat
dan nama Tuhan, dia akan mendapati suatu pengalaman spiritual yang
lebih tinggi dari fana’ sebelumnya. Tetapi, jika ia puas di sana, dia
bisa saja berhenti. Dan persis saat berhenti itu, dia terhalang untuk
mencapai kenikmatan spitual berikutnya yang akan ia raih jika ia mampu
hanyut dalam dzat atau esensi Tuhan. Dengan kata lain, jika dia bisa
hanyut dan “menjadi” Tuhan itu sendiri.
Tujuan tertinggi
perjalanan mistik adalah bagaimana manusia bisa “menjadi” Tuhan. Kata
“menjadi” sengaja saya taruh di antara dua tanda kutip, karena ini hanya
sekedar bahasa manusia saja. Pengertiannya tak bisa kita pahami secara
harafiah. Hanyut dalam diri Tuhan, dalam dzat Tuhan, “fana’ fi al-dzat”,
pada dasarnya adalah “menjadi Tuhan” itu sendiri.
Apa yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini?
Manusia memiliki potensi yang luar biasa menakjubkan, sebab dalam
dirinya ada elemen ketuhanan, ada anasir-anasir ilahiah. Karena itu,
manusia jangan cepat puas diri. Sikap cepat puas diri adalah sifat Setan
dan Iblis. Manusia harus terus berusaha agar potensi-potensi ilahiah
yang ada dalam dirinya keluar, terealisasi, sehingga dia menjadi Insan
Kamil, manusia yang sempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar