‘UZLAH BUKAN TUJUAN PADA DIRINYA SENDIRI
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Ma nafa’a al-qalba syai’un mitslu ‘uzlatin yadkhulu biha maidana fikratin.
Terjemahan:
Tak ada sesuatu yang lebih berguna buat hati kita kecuali tindakan
menyingkir dari keramaian masyarakat (‘uzlah) yang disertai dengan
kegiatan ber-tafakkur (merenung/berpikir).
Ada dua pengertian untuk kebijaksanaan Ibn Ataillah ini: pengertian awam dan pengertian khusus.
Pengertian awam/umum. Dalam bagian yang lalu, Ibn Ataillah sudah
mengulas mengenai dua konsep penting, yaitu ikhlas dan khumul. Kedua hal
itu saling terkait. Ikhlas adalah mengerjakan sesuatu bukan karena
pamrih sesaat, misalnya sekedar untuk meraih gaji atau menyelesaikan
kewajiban saja.
Ikhlas adalah dedikasi dan komitmen pada suatu
pekerjaan. Atau, dalam bahasa agama, ikhlas adalah mengerjakan sesuatu
hanya karena Tuhan saja. Bukan karena tujuan lain.
Khumul adalam
membenamkan diri agar tak kelihatan oleh orang ramai. Ikhlas biasanya
memang akan mudah dicapai jika kita bisa memiliki sikap khumul: tidak
menonjol-nonjolkan diri, pamer.
Dalam bagian ini, Syekh Ibn Ataillah masih membahas tema yang berkaitan dengan tema sebelumnya, yaitu soal ‘uzlah.
‘Uzalah artinya mengisolasi diri, menyingkir dari keramaian masyarakat.
Bagian ini memang tampakya ditujukan kepada jenis “manusia kamar”,
manusia yang maqamnya memang bukan “maqam sebab”, melainkan maqan
menyendiri, bermeditasi, membaktikan seluruh waktunya untuk mengabdi dan
beribadah kepada Tuhan.
Menghindar dari kermaian bukanlah tujuan
pada dirinya sendiri. Jika maqam seseorang adalah maqam ‘uzlah,
mengisolasi diri, lalu dia menyingkir dari keramian orang banyak, tetap
setelah itu tak melakukan apa-apa selain hanya menyendiri saja, maka
jelas tak gunanya.
Uzlah bukan tujuan pada dirinya sendiri.
‘Uzlah tak ada manfaatnya jika tak disertai dengan kegiatan lain, yaitu
beribadah dan bertafakkur, melakukan refleksi, merenung, berpikir,
melakukan aktivitas rohani.
Ada orang-orang yang secara fisik
terisolir dari dan tak bergaul dengan orang ramai, tetapi hatinya tetap
bersama orang ramai. Maka ‘uzalah semacam ini hanyalah ‘uzlah di
permukaan saja. Ini sama saja dengan orang yang tak memiliki harta,
tetapi hatinya selalu memikirkannya. Orang yang demikian itu tak bisa
disebut sebagai seorang yang zahid atau asketik. Sebaliknya ada orang
yang memiliki harta berlimpah, tetapi hatinya bersama Tuhan, tidak
“kumanthil” atau melekat dengan hartnya itu. Inilah orang benar-benar
zahid.
Hal yang sama berlaku juga untuk ‘uzlah. Ada orang-orang
yang secara fisik bergaul bersama orang banyak, tetapi fikiran dan
hatinya tak pernah berhenti melakukan meditasi, refleksi, tafakkur,
memikirkan Sang Khalik. Inilah ‘uzlah yang sebenar-benarnya. Sebab,
seperti dikatakan oleh Ibn Ataillah sebelumnya, yang menentukan kualitas
tindakan kita adalah sikap hati, bukan pekerjaan itu sendiri.
Pengertian khusus. Kata Syekh Ibn ‘Ajibah: Tak ada sesuatu yang lebih
berguna bagi hati dan rohni kita melebihi ‘uzlah. Tetapi, ini bukan
sekedar ‘uzlah, melainkan ‘uzlah yang dibarengi dengan “fikrah”,
bertafakkur, merenung.
Ibn ‘Ajibah membuat analogi yang menarik.
‘Uzlah adalah seperti orang yang melakukan “humyah” atau diet makan,
sementara bertafakkur adalah seperti meminum obat. Orang yang sakit
harus melakukan diet atau mengurangi makanan, terutama makanan yang akan
menambah parah sakit yang ia derita. Diet itu harus ia lakukan agar
obat yang ia telan memiliki pengaruh yang signifikan.
Dengan kata lain, ‘uzlah dan bertafakkur adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Menurut Syekh Abul Hasan al-Shadzili; buah dari ‘uzlah (yang disertai
dengan tafakkur) adalah meraih berkat dari Tuhan (mawahib al-minnah).
Ada empat berkat ilahiah yang akan diperoleh oleh orang yang’uzlah:
tersingkapnya hijab yang menghalang antara hamba dan Tuhan, rahmat yang
turun bercucuran bagai hujan, memahami makna cinta yang sesungguhnya
(cinta kepada Tuhan), dan kemampuan untuk jujur dalam berkata-kata.
Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari kebijaksanaan Ibn Ataillah
ini? ‘Uzlah adalah tindakan yang sangat mulia bagi orang-orang yang
memang maqam-nya ada di sana. Tetapi ‘uzlah bisa kita maknai secara
lebih luas: yaitu kemampuan kita untuk memfokuskan fikiran, begitu rupa
sehingga saat kita berada di tengah-tengah orang ramai, kita tidak larut
bersama mereka. Fikiran kita tidak kehilangan orientasi. Kita tetap
ingat kepada Sumber Kehidupan: yaitu Tuhan
KESIMPULAN NGAJI HIKAM #12
1. 'Uzlah atau menyingkir dari
keramaian masyarakat merupakan langkah penting, bukan saja bagi orang
yang sedang menjalani suluk atau kehidupan sufi, tetapi juga bagi orang
kebanyakan pada umumnya. Sebab 'uzlah pada intinya adalah kita bisa
mengasingkan diri dari keramaian, mampu mem-fokuskan fikiran kita,
sehingga kita bisa meraih hal-hal yang besar dan kesuksesan dalam hidup.
Seorang bijak pernah mengatakan bahwa ciri-ciri orang jenius adalah kemampuan
untuk mengonsentrasikan diri pada suatu masalah, memikirkannya dengan
sungguh-sungguh, dan dengan demikian bisa menemukan pemecahan atas
masalah itu.
Karyua-karya
besar dalam sejarah manusia lahir karena orang pecipta karya-karya itu
mamu melakukan 'uzlah. Jadi, 'uzlah adalah kemampuann diri untuk bisa
menjaga fokus, tidak larut dalam keramaian orang banyak.
'Uzlah adalah tindakan yang berguna bagi banyak orang. Bukan saja bagi kaum sufi atau pengikut tarekat.
2. Dalam konteks kehidupan sufi, 'uzlah ialah mengasingkan dari
keramaian, agar batin kita bisa dikondisikan untuk sepenuhnya terpusat
kepada Tuhan, Sumber Kehidupan, "sangkan paran"-nya kehidupan.
Tetapi. 'uzlah hanyalah sarana saja agar kita bisa ber-tafakkur. Jika
'uzlah dilakukan hanya dengan sekedar menghindari keramaian, tanpa
diikuti dengan kegiatan tafakkur, maka itu tak banyak gunanya. Itu
hanyalah pelarian dari kehidupan umum. 'Uzlah hanya berguna jika kita
menjadikannya sebagai wasilah atau instrumen untuk melakukan tafakkur.
'Uzlah yang dibarengi tafakkur inilah yang akan membawa manfaat bagi
rohani kita.
Sampai ketemu di Ngaji Hikam #13 besok.
Allahumma, ya Allah, semoga Engkau memberi kami kemampuan untuk tidak
larut dalam keramaian, untuk terus bisa mengingatMu, tidak lengah oleh
"al-aghyar", hal-hal yang selain Engkau. Semoga hikmah Syeeh Ibn
Ataillah ini membawa manfaat bagi kehidupan rohani kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar