Dalam ilmu tauhid, takdir adalah istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauh mahfudz sejak sebelum dunia tercipta. Allah menyinggung hal ini dalam banyak ayat, misalnya:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ
فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu
sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah" (QS.
Al-Hadid: 22).
لَا يَعْزُبُ عَنْهُ
مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ
مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah baik
yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang
lebih besar, semuanya (tertulis) dalam Kitab yang jelas (lauh mahfuzh),” (QS. Saba’: 3).
Kalau demikian, maka bisakah manusia mengubah takdir dengan
usahanya sendiri? Jawaban pertanyaan ini sebenarnya tak ada, tak bisa
dijawab dengan ya atau tidak, sebab pertanyaan ini bermasalah.
Pertanyaan ini muncul dari asumsi seolah ada usaha atau tindakan di
dunia ini yang tak tercatat sebagai takdir di lauh mahfudz sehingga hendak dipertentangkan dengan catatan di lauh mahfudz.
Seolah-olah penanya ingin membenturkan antara usaha manusia di satu
pihak dengan takdir di pihak lain. Padahal kejadiannya tidaklah
demikian. Usaha manusia, baik itu berupa tindakan, pilihan rasional,
atau doa yang dipanjatkan, semuanya adalah kejadian yang tertulis di lauh mahfudz sebagaimana disinggung dalam ayat di atas. Sama sekali tak ada kejadian apa pun yang tak terekam di sana.
Jadi, ketika seorang manusia dengan pilihan sadarnya berusaha keras
agar kemiskinannya berubah menjadi kekayaan dan itu berhasil
dilakukannya, sebenarnya dia tak mengubah sedikit pun takdirnya.
Takdirnya bukanlah miskin kemudian dilawan hingga berubah menjadi kaya,
namun takdirnya adalah miskin lalu berusaha keras lalu kaya. Dengan
demikian tak relevan sama sekali menanyakan apakah usaha dapat mengubah
takdir sebab usaha itu sendiri adalah juga bagian dari takdir.
Demikian juga sebaliknya ketika ada seseorang yang lahir dalam
kondisi kaya lalu bermalas-malasan sehingga jatuh miskin. Keadaan ini
tak dapat dibaca seolah dia ditakdirkan kaya kemudian mengubah takdirnya
dengan bermalas-malasan. Yang terjadi adalah dia memang ditakdirkan
lahir dalam keadaan kaya lalu ditakdirkan bermalas-malasan lalu
ditakdirkan miskin. Apa yang telah terjadi, itulah yang positif kita
ketahui sebagai takdir. Dengan demikian, takdir selalu selaras dengan
realitas yang terjadi dan tak mungkin berbeda sehingga bisa
dipertentangkan.
Sebab itulah dalam suatu hadis diceritakan jawaban Rasulullah ﷺ
pada orang yang bertanya apakah berobat bisa menolak takdir?
Selengkapnya sebagai berikut:
يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَرَأَيْتَ رُقَى نَسْتَرْقِي بِهَا، هَلْ تَرُدُّ مَنْ قَدَر اللَّهِ
شَيْئًا؟ فَقَالَ: "هِيَ مِنْ قَدَرِ الله"
"Wahai Rasulullah ﷺ, apa pendapatmu tentang ruqyah (doa
penyembuhan) yang kami lakukan, apakah ia bisa menolak takdir Allah?
Rasulullah ﷺ menjawab: Ruqyah itulah bagian dari takdir”. (HR Turmudzi)
Kesalahpahaman sehingga muncul asumsi seolah usaha dapat melawan
takdir biasanya juga muncul dari pemahaman yang tidak tepat terhadap
ayat ar-Ra’d: 11 berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Banyak yang menyangka bahwa kata “keadaan” di ayat tersebut sebagai takdir yang telah digariskan di lauh mahfudz.
Dengan makna demikian seolah takdir Allah ditentukan oleh manusia itu
sendiri. Anggapan ini tidak tepat sebab takdir telah ditulis sejak
sebelum alam semesta tercipta, seperti dibahas di atas. Kata “keadaan”
dalam ayat itu sebenarnya adalah kondisi mendapat nikmat dari Allah.
Maksudnya, suatu kaum pada asalnya akan selalu mendapat nikmat dari
Allah dan ini akan terjadi terus hingga kemudian kaum itu sendiri yang
mengubah keadaan ini dengan maksiat yang mereka lakukan. Bila mereka
telah bermaksiat, maka nikmat akan diubah menjadi musibah. Demikian juga
ketika maksiat telah berhenti, maka musibah akan kembali diubah menjadi
nikmat.
Syaikh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menukil riwayat Abi Hatim yang isinya:
أَوْحَى اللَّهُ إِلَى
نَبِيٍّ مِنْ أَنْبِيَاءِ بَنِي إِسْرَائِيلَ: أَنْ قُلْ لِقَوْمِكَ:
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ وَلَا أَهْلِ بَيْتٍ يَكُونُونَ عَلَى
طَاعَةِ اللَّهِ فَيَتَحَوَّلُونَ مِنْهَا إِلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ،
إِلَّا تَحَوَّلَ لَهُمْ مِمَّا يُحِبُّونَ إِلَى مَا يَكْرَهُونَ
“Allah berfirman kepada seorang Nabi dari para nabi Bani Israil:
Katakan pada kaummu, sesungguhnya tidak ada satu pun penduduk desa dan
penghuni rumah yang taat kemudian mengubahnya menjadi maksiat pada
Allah, kecuali keadaan yang mereka sukai akan berubah menjadi keadaan
yang tak mereka sukai.” (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, vol. IV, hlm. 440)
Ayat ar-Ra’d: 11 di atas selaras dengan firman Allah di ayat lain berikut ini:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ
يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui,” (QS. Al-Anfal: 53)
Dengan demikian semua ayat di atas maknanya selaras dan tak
bertentangan satu sama lain. Intinya, usaha tak bisa dipertentangkan
dengan takdir sebab usaha itu sendiri, baik usaha positif atau usaha
negatif, adalah juga bagian dari takdir. Wallahu a’lam.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar