SEGALANYA BERMULA DARI HATI KITA
Syekh Ibn Ataillah berkata:
Tawwa’at ajnas al-a’mal bi tanawwu’ waridat al-ahwal.
Terjemahannya:
Amal dan pekerjaan kita berbeda-beda kualitas dan jenisnya karena perbedaan keadaan spritual yang kita alami.
Kebijaksanaan Ibn Ataillah yang sangat sederhana ini memiliki makna
yang mendalam. Saya akan mengupasnya dari sudut pengertian yang umum
atau awam, dan pengertian yang khusus.
Pengertian awam. Apa yang
ada dalam hati dan batin kita menentukan jenis-jenis pekerjaan yang kita
lakukan. Pekerjaan kita mencerminkan suasana hati kita. Pekerjaan lahir
hanyalah seperti baju luar. Ia tidak berdiri sendiri, melainkan
ditentukan oleh pikiran, hati dan niat kita.
Karena itu, tugas
seorang beriman adalah bukan membiarkan seluruh perhatiannya diserap
oleh hal-hal yang sifatnya lahir. Sebab yang nampak di permukaan, yang
kelihatan di luaran, hanyalah cerminan dari hal-hal yang sifatnya
batiniah itu. Seorang beriman seharusnya lebih sibuk memperhatikan hati,
niat, yang ada di dalam batinnya.
Ilmu tasawwuf biasa disebut
sebagai kedokteran roh, jiwa atau batin (tibb al-arwah atau al-tibb
al-ruhani). Sementara kedokteran yang dipraktekkan oleh para dokter di
rumah sakit adalah kedokteran badan (tibb al-ajsad). Sebagaimana badan
kita harus diobati jika sakit, begitu juga roh dan batin kita juga harus
dirawat dan diobati saat mengalami ketidak-beresan.
Kedokteran
batin jauh lebih penting daripada kedokteran badan, meskipun kedokteran
badan tampak lebih mentereng dan mewah, dengan bangunan rumah sakit yang
“magrong-magrong”, yang besar. Sebab jiwa lah yang mengendalikan badan.
Jika badan telah kita sehatkan di rumah sakit melalui kedokteran badan,
tetapi jiwa dan batin masih sakit, maka badan yang sehat itu bisa
dipakai untuk melakukan hal-hal yang destruktif.
Karena itulah,
ilmu olah batin menjadi penting agar kita bisa menata jiwa kita sehingga
ia bisa menjadi pengendali yang baik bagi badan.
Nabi bersabda:
Ingatlah, dalam diri kita ada seonggok daging. Jika ia baik, maka
seluruh badan juga baik. Jika ia buruk, seluruh badan juga buruk.
Banyak penyakit fisik yang sumbernya bukan dari badan yang sedang tak
sehat. Melainkan dari hati dan kondisi mental yang buruk. Sikap hidup
yang negatif, negative thinking, bisa membuat kita sakit secara fisik,
selain sakit jiwa.
Karena itu, menata hati dan mengkondisikannya
agar sehat dan bugar jauh lebih penting dari merawat badan. Sebab
semuanya bermula dari hati dan batin kita. Ini bukan berarti merawat
badan tak penting. Sebab, dalam badan yang sehat juga terdapat batin dan
jiwa yang sehat.
Kebijaksanaan ini hanya mau menunjukkan saja:
jangan lengah pada yang batin, yang tak tampak. Sebab itu mengendalikan
tindakan lahir kita.
Pengertian khusus/mistik. Dalam kalangan
sufi dikenal istilah “ahwal”, yaitu kondisi batin seorang pelaku
tasawwuf. Ahwal atau kondisi batin ini tidak bersifat tetap, melainkan
berubah-ubah. Perubahan ahwal tercermin juga pada keadaan lahiriah dalam
keadaan seseorang.
Jika seseorang mengalami keadaan yang disebut
“qabd”, atau kondisi batin yang mengkerut, maka itu akan tercermin
dalam keadaan lahiriahnya: yaitu sikap diam dan merasa berat untuk
bertindak/beribadah.
Jika hatinya mengalami “basth” atau mekar
dan terbuka, maka ia akan terlihat juga dalam tindakan lahiriahnya. Dia
akan merasa bersemangat dan ringan beribadah.
Jika seseorang
mengalami kondisi yang disebut dengan “hirsh” atau tamak dan loba, maka
itu juga akan tercermin dalam kondisi fisiknya. Orang yang loba dan
tamak akan kelihatan grusa-grusu, kemrungsung, ngotot, dan akhirnya
lelah sendiri secara mental. Kelelahan mental itu juga akan tercermin
dalam fisiknya juga. Ia akan tampak lesu dan capek.
Menata ahwal
atau kondisi batin ini sangat penting bagi seorang sufi, sebab ia
menentukan martabat dan tingkatan yang bersangkutan.
Apakah
seorang sufi disebut ‘abid (seorang yang tekun beribadah), wari’
(seorang yang menjauhi hal-hal yang secara moral tak bisa
dipertanggungjawabkan, “scrupulous”), zahid (seorang yang menjauhi
kemewahan), atau ‘arif (seorang yang mencapi hakikat hidup dan
ketuhanan) – ya, apakah ia disebut ini atau itu, tergantung sepenuhnya
pada ahwal yang ada pada dirinya.
Apa pelajaran yang layak kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Karena segala hal bersumber dari hati dan batin kita, maka kita harus
benar-benar merawat dan melatih batin ini agar tertanam di dalamnya
sifat-sifat yang baik, sifat-sifat ketuhanan. Jika seorang beriman bisa
menghiasi batinnya dengan sifat-sifat ini, maka seluruh badannya akan
mengerjakan semua hal yang baik.
Lingkungan sosial yang diisi
oleh orang yang sehat secara mental juga akan menjadi lingkungan yang
sehat. Dalam lingkungan seperti inilah semestinya anak-anak kita
dibesarkan, agar saat besar nanti bisa mengembangkan sifat-sifat
ketuhanan dalam dirinya
KESIMPULAN NGAJI HIKAM #9
1. Jiwa manusia itu seperti
layang-layang. Kadang dia naik ke atas, diterbangkan oleh angin. Saat
hembusan angin melemah, ia bisa turun. Saat angin berhembus kencang,
jiwa manusia bisa berubah seperti hewan yang sedang terluka dan
kesetanan. Begitulah, kondisi jiwa manusia selalu berubah-ubah,
mengalami naik turun.
Ini lah keadaan yang harus diwaspadai oleh
seorang murid yang sedang menjalani "laku mistik" atau ikut dalam
latihan olah jiwa. Kondisi mental yang
naik tutun adalah wajar. Tetapi kita harus bisa tetap menjaga diri agar
tak lengah sehingga terbawa ke dalam dorongan batin sesaat. Saat jiwa
kita mengalami situasi yang oleh para sufi disebut "basth" atau
mengembang, sehingga kita merasakan kegembiraan, kita harus bisa menjaga
rasa gembira itu sehingga tak "mberot" atau lari di luar kontrol.
Begitu juga saat kita mengalami apa yang dalam ilmu tasawwuf disebut
"qabd" aatu kondisi jiwa yang mengkerut, sehingga kita merasakan
kemalasan, tak ingin melakukan pekerjaan apapun, kita harus bisa
mengontrol diri juga.
Baikl dalam keadaan jiwa kita mengembang
atau mengkerut, kita harus tetap waspada, sehingga tak lengah dan tetap
bisa mengontrol diri.
2. Seorang beriman harus tetap memiliki
prinsip berikut ini: Menjaga hati dan batin agar tetap sehat jauh lebih
penting tinimbang kesehatan fisik, meskipun kesehatan fisik juga tetap
harus dijaga.
Sebab kondisi batin lah yang menentukan tindakan manusia.
Sekian Ngaji Hikam #9. Sampai ketemu besok malam di Ngaji Hikam #10.
Mari kita tutup ngaji ini dengan bacaan hamdalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar