NGAJI HIKAM #7
Bismillahirrahmanirrahim
Malam ini saya sedang ada acara. Jadi tak bisa menunggui komentar
teman-teman semua seperti biasa. Silahkan ajukan pertanyaan dan komentar
seperti biasanya, dan saya akan mencoba menjawabnya satu demi satu saat
sudah pulang di rumah nanti malam.
Mari kita mulai Ngaji Hikam
seri ke-7 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah
(qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai
Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah....
--------------------
OPTIMISME TERHADAP KENYATAAN HIDUP
Syekh Ibn Ataillah berkata:
لايُشَكّكنَّك فى الوَعْد عَدمُ وقُوعِ المَوعُود ، وإنْ تعَيَّن زَمانُه ،
لِئلاَّ يكُونَ ذٰلك قَدْحًا فى بَصِيرتِك وإخْمادًا لنُورِ سَريرَتِك .
La yusyakkikannaka fi al-wa’di ‘adam wuqu’ al-mau’ud, wa-in ta’ayyana
zamanuhu, li-alla yakuna dzalika qadhan fi bashiratika, wa ikhmadan
li-nuri sariratika.
Terjemahannya: Janganlah janji Tuhan yang tak
terwujud membuatmu meragukan akan janjiNya, meski—taruhlah-- janji itu
diberikan “timing” atau waktu yang jelas. Hal itu agar tak merusak
kejernihan batinmu, dan memadamkan cahaya rohmu.
Ajaran Ibn Ataillah ini memiliki dua pengertian: awam dan khusus.
Pengertian awam. Pada bagian terdahulu kita berbicara mengenai doa yang
tampak tak pernah atau lama tak terkabulkan. Keadaan itu bisa membuat
seorang beriman merasa putus asa, terdampar secara mental. Bagian ini
masih merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya. Intinya, sekali lagi,
kita diajak oleh Ibn Ataillah untuk membiasakan diri melihat hidup
secara optimis, walau ia berjalan tak sesuai dengan “kehendak kecil”
kita sebagai manusia.
Manakala Tuhan menjanjikan sesuatu,
misalnya melalui Kitab Suci atau perantaraan yang lain, dan janji itu
ternyata tak terpenuhi, bagaimana sikap kita? Apakah kita harus
mengatakan bahwa Tuhan ingkar janji? Haruskah kita marah, kecewa, dan
bahkan mencerca Tuhan? Atau, jika Anda seorang ateis atau agnostik:
Haruskah Anda mencela kenyataan dan meneriakkan kekecewaan, “Dunia tak
adil!”?
Dalam Quran, Tuhan menjanjikan kemenangan kepada
hamba-hambaNya yang beriman dan berbuat kebaikan di bumi. Ini bisa
dibaca di QS 24: 55. Kenapa, mungkin kita sebagai umat Islam bertanya,
kita sekarang justru terpuruk sebagai umat? Kenapa dunia Islam
terbelakang? Manakah janji Tuhan akan memberikan kemenangan kepada umat
Islam?
Dan seterusnya.
Janji Tuhan yang tak terwujud, atau
belum terwujud, janganlah membuat kita meragukan janjiNya. Jika Anda
telah bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku, sesuai dengan
tip-tip kesuksesan yang diwedarkan oleh para juru motivator, janganlah
putus asa terlebih dahulu.
Keputus-asaan semacam itu hanyalah
akan membuat mata batin Anda menjadi pudar dan padam. Anda akan
kehilangan ketajaman untuk melihat peluang lagi. Anda, dengan sikap yang
negatif seperti itu, tak akan memiliki “tenaga psikologis” dan semangat
untuk berbuat lagi, mencoba lagi, mengulangi lagi. Barangkali ada hal
yang salah dalam proses Anda bekerja sebelumnya.
Jika umat Islam
saat ini terdampar di pinggiran sejarah, padahal Tuhan menjanjikan
dalam Kitab SuciNya bahwa Ia akan menolong mereka, janganlah hal itu
membuat mereka patah-harapan, atau meragukan janji Tuhan.
Seorang beriman haruslah memiliki pandangan yang optimis tentang
sejarah. Dalam pandangan yang seperti itu, keputus-asaan tak masuk dalam
kamus seorang beriman.
Manfaat sikap positif semacam ini, kita
tahu, adalah memberikan kita suatu tenaga mental untuk terus mencoba
kembali. Janji Tuhan dalam bentuk hukum alam –barangsiapa bekerja keras,
ia akan menuai hasil—akan pasti terwujud. Tetapi ia terwujud bukan
dalam cara yang kita kehendaki. Kadang-kadang, ia terwujud secara tak
terduga-duga, dalam bentuk yang tak pernah muncul dalam rencana awal.
Life is full of surprises. Hidup kerap berisi kejutan-kejutan di
tikungan. Dan saya yakin, Anda sering mengalami hal semacam ini dalam
hidup. Banyak hal yang kita rencanakan secara matang dari awal, dan kita
bekerja keras, seraya berdoa, untuk meraih itu. Tetapi, pada ujungnya,
rencana itu tak terwujud. Di tikungan hidup, yang muncul justru hal
lain. Hal-hal semacam ini kerap-terjadi dalam hidup manusia. Itu
mengkonfirmasi kebijaksanaan Ibn Ataillah ini.
Pengertian
khusus/mistik. Ibn ‘Ajibah, pengarang syarah/komentar al-Hikam,
memberikan ajaran yang sangat penting bagi orang-orang yang sedang
menjalani “suluk” atau perjalanan spiritual, di bawah bimbingan
spiritual seorang guru (mursyid).
Ajaran itu ialah: fandzur
ahsan al-ta’wilat wa-l-tamis ahsan al-makharij. Jika engkau berhadapan
dengan sebuah janji Tuhan, entah dikatakan lewat wahyu, ilham para wali,
atau jalan-jalan yang lain, lalu janji itu tak segera atau malahan tak
terwujud sama sekali, maka carilah “ta’wil” (pemahaman). Carilah cara
bagaimana Anda mengerti kenapa sesuatu terjadi seperti itu, dan tidak
dengan cara yang lain.
Selalu Ada jalan untuk mengerti kenapa
sesuatu terjadi tidak seperti yang dijanjikan. Carilah jalan untuk
mengerti, untuk men-takwil. Itulah ajaran dari pengarang komentar atas
Kitab Hikam itu. Dengan pengertian seperti itu, seorang murid tarekat
bisa menghindarkan pikiran dan sangkaan buruk mengenai Tuhan atau
gurunya.
Apa pelajaran yang bisa kita peroleh dari ajaran Syekh
Ibn Ataillah ini? Kita, di sini, diajarkan untuk memahami kenyataan
hidup yang tak sesuai dengan “hukum realitas” atau janji Tuhan dengan
cara tertentu sehingga kita tak memiliki prasangka buruk. Sebab
prasangka buruk hanyalah mendatangkan “negative thinking”, pikiran yang
kotor dan situasi kejiwaan yang tak sehat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar