Kamis, 30 April 2015

NASIB ANAK CUCU KITA

JIKA tahun ini anda mulai memasukkan anak anda ke TK atau SD, maka 25 tahun nanti, saat ia menyelesaikan pendidikan tinggi, anda mungkin masih harus membantunya, secara moril maupun materil. Keadaan akan makin berat bagi para lulusan sekolah.

Menurut UNESCO, 25 tahun mendatang jumlah lulusan Perguruan Tinggi akan mencapai jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Tentu ini berarti jumlah lulusan tertinggi pula untuk semua tingkatan sekolah, dari SD sampai SLTA.

Pada saat itu nanti, ijazah kehilangan nilai. Dunia akan mengalami apa yang disebut academic inflation (inflasi akademis), atau sederhananya: Penurunan nilai gelar dan ijazah.

Sebetulnya, gejala inflasi akademis itu sudah terasa sejak sekarang. Tahun 70an, seorang lulusan SMP bisa dipastikan bisa mendapat pekerjaan bagus. Istilah masa itu ‘kerja kantoran’. Kalaupun ada yang tidak bekerja, pasti dia memang tidak berminat bekerja.

Apalagi lulusan SMA. Terlebih lagi bila SMA kejuruan, seperti STM (Sekolah Teknik Menengah), atau SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), SGA (Sekolah Guru Atas). Dan bila seseorang beruntung lulus kuliah, ia adalah doktorandus atau insinyur. Bila anda bujangan dan bergelar doktorandus, jalan-jalanlah ke desa, semua orang tua akan dengan senang hati memperkenalkan anak anak gadisnya kepada anda – ehm -- termasuk Pak Lurah dan Pak Kyai, saking bergengsinya gelar doktorandus itu.

Sekarang, doktorandus itu setara dengan S1. Setara dalam hal tingkatan, tidak dalam isi dan mutu. Tahun 70an, hampir tidak mungkin menjumpai ada sarjana yang nganggur. Mereka semua bekerja. Bukan hanya ‘bekerja kantoran’, tapi bisa dipastikan berjabatan tinggi.

Kini, kebanyakan lulusan S1 menganggur, dengan tingkat kemampuan kerja yang lemah daya saing.



Para lulusan sekolah yang membludak itu akan bersaing memperebutkan kesempatan kerja yang sangat terbatas. Ini sudah mulai terasa di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa, karena industri dan investasi terus melambat. SDA di negara-negara maju sudah mencapai titik nadir. Perusahaan-perusahaan di sana lantas mengalihkan modalnya ke negara-negara berkembang, di mana SDA masih berlimpah, murah dan upah buruh rendah.

Lalu, kemana para lulusan sekolah di negara-negara maju itu akan mencari kerja? Jawabannya: Ke negara-negara berkembang, terutama yang menjadi sasaran investasi pengusaha atau pemodal negerinya. Salah satunya Indonesia. Sebabnya, meski nilai lulusan sekolah sudah menurun di negara mereka, tapi di negara-negara berkembang masih dianggap dewa. Mereka akan datang sebagai expatriate, tenaga ahli, consultant.
Dan bila beberapa dari mereka masih luntang-lantung di Jalan Sabang sebagai pengangguran, perusahaan-perusahaan pribumi akan segara merekrut mereka sebagai bintang iklan. Atau beberapa artis akan menjadikan mereka pendamping.

Nah, anak anda yang mulai anda sekolahkan sekarang itu mungkin harus bersaing dengan para imigran dari negara-negara maju. Kalau mental inlander masih dipelihara, jelas anak anda akan tersingkir. Bukan karena pekerja imigran atau expatriate lebih bagus atau lebih mampu, tapi karena mereka Amrik atau Eropa. Sedangkan anak anda pribumi. Mendapat pekerjaan teknis bergaji rendah sudah untung, padahal anda membiayai mereka habis-habisan.

Maaf terdengar rasialis. Tapi mendingan bicara faktual ketimbang membual tentang kesetaraan ras. Sikap rasialis itu faktual. Bule yang tak bisa apa-apa di Indonesia selalu bergaji berkali-kali lipat lebih tinggi dari pekerjaan pribumi yang pintar dan ahli. Sedangkan orang-orang Indonesia yang bekerja di luar negeri bisa dipastikan bergaji jauh lebih rendah dari pekerja pribumi sono. Sikap rasialis sekarang ada dan masih akan ada sepanjang sebagian orang merasa rendah diri karena rasnya dan sebagian lagi merasa tinggi karena alasan yang sama.

Kebetulan, penguasa negeri ini gemar sekali dagang SDA, memanjakan pemodal asing, mencari utangan. Tidak ada investasi, utang yang tanpa kepentingan. Kepentingan para pemodal asing, selain keuntungan, adalah menyejahterakan orang-orang senegaranya dengan cara menyediakan pekerjaan di tempat-tempat mereka berinvestasi. Indonesia sudah pasti.

Kalau begitu, kita modali saja anak-anak kita untuk buka usaha sendiri. Jadi pengusaha. Tidak semudah itu juga. Kebijakan negara inlander ini sangat tidak memajukan usaha dan kreativitas rakyat. Impor dibuka bebas. Kalau anda suka belanja, anda akan kaget mendapati mebel, perabotan, kursi, meja, krey, hiasan, mulai dari yang bermutu rendah sampai bermutu tinggi semuanya impor. Ada suka belanja ke ACE Hardware? Tidak ada barang lokal di situ.

Bila penguasa negeri ini tak terlalu mengobral kekayaan alam negerinya ke pemodal asing, maka SDA yang berlimpah itu akan menjadi tantangan bagi anak-anak yang kita sekolahkan hari ini untuk berkreasi, berproduksi, membangun ekonomi negeri ini secara mandiri. 25 tahun yang akan datang, mereka akan mulai mempraktikkan ilmu-ilmu yang mereka pelajar bertahun-tahun.

Tapi dengan praktik pengelolaan ekonomi negara seperti sekarang ini, skenario yang paling mungkin adalah anak-anak kita akan menjadi kaum buruh kelas dua di negaranya sendiri, seperti sekarang.  Kreativitas dan ilmu mereka tak banyak berguna.

Itulah pentingnya melindungi kekayaan nasional dari pengurasan oleh pemodal asing, yakni untuk kepentingan generasi mendatang, anak-cucu kita. Itulah pentingnya memilih pemimpin peduli pada kelestarian alam, kekayaannya serta kelangsungan generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar