“Ah, saya cuma IRT (ibu rumah tangga).”
Ungkapan itu sering saya dengar dari – tentu saja dari ibu rumah tangga. Dan sungguh tak nyaman mendengarnya.
Kata ‘cuma’-nya itu lho – dan eskpresi kurang pede –mengesankan bahwa status ibu rumah tangga itu inferior dan tidak bergengsi.
Suatu waktu kami hendak mengadakan reuni sekolah. Ketika memberitahu seorang alumni yang berstatus IRT, dia tak bersedia datang. Alasannya malu karena teman-temannya sesama alumni bekerja (di kantor), berkarir, sedangkan dia ‘cuma ibu rumah tangga’.
Saya bilang ibu mestinya bangga, bukan malu. Teman-teman ibu harus pergi bekerja, pergi pagi pulang sore, ada yang pulang malam, untuk menghidupi keluarga. Ibu tak usah.
“Tapi pemasukan kurang. Pas-pasan,” kilahnya.
Lha, emangnya yang orang yang bekerja merasa cukup dengan gaji bulanannya?
Status IRT adalah status tertinggi seorang perempuan – lebih tinggi dari status ibu direktur, ibu menteri, ibu presiden sekalipun. Ukuran utama dan pertama keberhasilan seorang perempuan adalah rumah tangga dan keluarga. Bila seorang perempuan ‘berhasil’ menjadi direktur eksekutif, tapi rumah tangganya runyam, anak-anaknya bermasalah, kehidupan keluarganya penuh konflik, dia bukan wanita sukses.
Mungkin dia direktur atau pebisnis yang sukses, tapi bukan wanita sukses.
Mungkin kecenderungan orang menganggap remeh status IRT itu karena menjadi IRT itu tak perlu sekolah S1, S2, S3. Semua perempuan bisa jadi IRT. Tak perlu keahlian khusus; tak perlu pelatihan dan lokakarya ini-itu.
Ya kalau hanya beranak, memberi makanan, membajui, mengantar-jemput sekolah, memang tak perlu ilmu dan kebisaan khusus. Sama persis dengan wanita karir, kalau cuma masuk kantor, melakukan pekerjaan rutin, main game, chatting, tak perlu juga sekolah tinggi-tinggi. Bisa dilakukan oleh mesin kok.
Memang tak dipersyaratkan menyandang ijazah S2 atau S17 untuk menjadi IRT. Tapi menjadi IRT yang mampu mendidik anak dengan baik, mengelola dan menata rumah sehingga nyaman dan menyenangkan, mengatur pengeluaran, mengatur asupan makanan anak yang menyehatkan, perlu ilmu psikologi, tataboga, ilmu komunikasi, ilmu mendidik dan manajemen. Dan IRT yang baik tidak hanya membekali diri dengan membaca buku-buku tentang semua itu, tapi juga belajar dari pengalaman sehari-hari. Ini praktik akademis sekaligus ketrampilan yang lebih intensif daripada proses belajar para mahasiswa pasca sarjana dalam kelas.
Belum lagi kelengkapan mental. Pengaruh lingkungan sering mengalahkan pendidikan di sekolah dan pengajaran orangtua. Perilaku anak sehari-hari banyak yang baru dan tidak ada dalam buku teks. Ibu harus bisa mengatasinya langsung di lapangan. Perlu kesabaran, kehati-hatian dan pemahaman.
Bila seorang ibu punya anak dua-tiga, masih kecil-kecil, sering tak terhindarkan konflik: Si Kakak suka usil. Si Adik gampang merengek. Si Bungsu tak bisa diam.
Dalam situasi lain: Si Kakak demam, si adik mules-mules, si bungsu tak mau makan. Dan si ibu kebetulan sedang pusing. Sebelum ke dokter, si ibu harus punya pengetahuan melakukan penanganan awal, entah meramu obat dapur, mengkompres, sembari mensugesti dengan kata-kata yang menenangkan si anak.
Bagaimana dengan jam kerja? 24-7, alias 24 jam sehari tanpa libur, dengan ‘gaji’ ‘semampu perusahaan’.
Kecualikan ibu-ibu yang punya pembantu. Dini hari, harus paling duluan bangun karena harus menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak, memandikan dan membajui anak-anak. Bagi ibu-ibu Muslim, tentu harus termasuk taharah dan shalat subuh.
Setelah anak dan suami berangkat. Sambung dengan bersih-bersih rumah, ngepel, cuci piring, gelas, sendok, dsb. Habis itu nyuci baju, nyetrika, belanja ke warung sayur. Siang, anak-anak pulang dari sekolah, makanan harus sudah tersedia. Tak sedikit yang harus pergi ke sekolah menjemput. Bila sekolah anak-anak berlainan, apa boleh buat menjemput di dua-tiga tempat.
Bila anak masih kecil, si ibu perlu menemani anak bermain, entah di rumah atau di luar rumah.
Menjelang sore, ibu baru agak leluasa. Tapi sorenya sudah sibuk lagi: Memandikan anak, menyiapkan makanan lagi, mandi, shalat, menyapu, dst – sampai malam menjelang.
Malam kesibukan berkurang. Badan sudah capek. Eh, bapaknya ‘minta’. Kalau tidak di kasih suka nyelinap keluar rumah. Awalnya pura-pura baca majalah di halaman, habis itu ngilang.
Kini sebagian pekerjaan itu ditangani pihak lain, seperti nyuci baju ke binatu [laundry], atau masak diganti dengan beli matengan. Antar jemput sekolah anak ada jemputan. Tapi itu hanya sedikit mengurangi kesibukan seorang ibu. Bahkan meski ada pembantu di rumah, kesibukan ibu tetap padat. Ada banyak pekerjaan yang tidak bisa ditangani pembantu.
Belum lagi si ibu pun perlu mengurus dirinya sendiri. Memelihara kesehatan, kebugaran, kecantikan dan penampilan, toh?
Mungkin peremehan kepada IRT karena soal fisik juga. Biasanya IRT murni kurang ‘kenceng’ badannya. Tapi itu pengorbanan luar biasa. Ada perempuan yang begitu pandai merawat badannya tetap bugar dan seksi, tapi keluarga kurang terurus. Nah, bila ada IRT yang menangani rumah tangga dan keluarga dengan baik sekaligus tetap elok dipandang, ia IRT luar biasa. Wanita sukses.
Setelah anak-anak agak besar, kerepotan memang berkurang. Tapi masalah datang tak habis-habisnya. Si Reni mengurung diri berhari-hari. Si Reno tak pulang-pulang. Si Rina tak seperti biasanya.
Di kantor, wanita karir bisa makan siang bergaya kencan dengan ‘mitra kerja’. Di rumah, IRT makan siang bergaya kencan dengan anak-anak dan si bibi.
Mungkin seorang perempuan berjabatan manajer bisa mengatur anak buahnya dengan baik. Semua perintahnya diikuti. Memimpin rapat sangat efektif dan singkat. Rencana berjalan sesuai agenda. Tapi di rumah anak-anaknya sering protes dan dia kewalahan menghadapinya, meski sudah diasisteni pembantu.
Kehebatan si ibu di kantor itu tak sepenuhnya orisinil. Tentu saja anak buahnya menurut padanya karena cari penyakit kalau membangkang. Anak-anaknya di rumah, tak punya ketakutan soal kondite, karir atau gaji. Mereka merengek dan mendesak kalau permintaan tidak dipenuhi. Dan bila si anak menolak perintah, si ibu tak bisa memecatnya sebagai anak.
Karena itu, wanita yang ‘cemerlang’ di kantor tidak selalu ibu yang baik. Untuk ini cukup banyak contoh.
“Tapi dia perempuan mandiri. Tidak tergantung pada suami,” begitu komentar anda, bukan?
Ya, sebagai individu ia mandiri. Tapi sebagai karyawan tetap saja ia adalah hamba perusahaan. IRT, sementara itu, memang dinafkahi suami, tapi ia mengatur pekerjaan secara mandiri di rumah. Justru ‘wanita mandiri’ itu adalah IRT. Dia tidak perlu bersandar pada gaji bulanan di perusahaan, yang mengharuskannya meninggalkan pekerjaan utama setiap perempuan: Mengelola rumah dan keluarga.
Dan dinafkahi itu sama sekali bukan bersandar. Itu hak. Suami memberi nafkah bukan mengasihani, tapi kewajiban. Bahkan kalau menurut hitungan profesional, nafkah bulanan suami itu tidak seimbang dan beban kerja istri di rumah yang tanpa hari dan jam kerja itu. Di tempat liburan pun mereka tetap mengurus anak dan suami.
Tulisan ini sama sekali tak bermaksud mengecilkan wanita karir, tapi sekedar mengingatkan tantangan sekaligus kemuliaan seorang ibu.
Ungkapan itu sering saya dengar dari – tentu saja dari ibu rumah tangga. Dan sungguh tak nyaman mendengarnya.
Kata ‘cuma’-nya itu lho – dan eskpresi kurang pede –mengesankan bahwa status ibu rumah tangga itu inferior dan tidak bergengsi.
Suatu waktu kami hendak mengadakan reuni sekolah. Ketika memberitahu seorang alumni yang berstatus IRT, dia tak bersedia datang. Alasannya malu karena teman-temannya sesama alumni bekerja (di kantor), berkarir, sedangkan dia ‘cuma ibu rumah tangga’.
Saya bilang ibu mestinya bangga, bukan malu. Teman-teman ibu harus pergi bekerja, pergi pagi pulang sore, ada yang pulang malam, untuk menghidupi keluarga. Ibu tak usah.
“Tapi pemasukan kurang. Pas-pasan,” kilahnya.
Lha, emangnya yang orang yang bekerja merasa cukup dengan gaji bulanannya?
Status IRT adalah status tertinggi seorang perempuan – lebih tinggi dari status ibu direktur, ibu menteri, ibu presiden sekalipun. Ukuran utama dan pertama keberhasilan seorang perempuan adalah rumah tangga dan keluarga. Bila seorang perempuan ‘berhasil’ menjadi direktur eksekutif, tapi rumah tangganya runyam, anak-anaknya bermasalah, kehidupan keluarganya penuh konflik, dia bukan wanita sukses.
Mungkin dia direktur atau pebisnis yang sukses, tapi bukan wanita sukses.
Mungkin kecenderungan orang menganggap remeh status IRT itu karena menjadi IRT itu tak perlu sekolah S1, S2, S3. Semua perempuan bisa jadi IRT. Tak perlu keahlian khusus; tak perlu pelatihan dan lokakarya ini-itu.
Ya kalau hanya beranak, memberi makanan, membajui, mengantar-jemput sekolah, memang tak perlu ilmu dan kebisaan khusus. Sama persis dengan wanita karir, kalau cuma masuk kantor, melakukan pekerjaan rutin, main game, chatting, tak perlu juga sekolah tinggi-tinggi. Bisa dilakukan oleh mesin kok.
Memang tak dipersyaratkan menyandang ijazah S2 atau S17 untuk menjadi IRT. Tapi menjadi IRT yang mampu mendidik anak dengan baik, mengelola dan menata rumah sehingga nyaman dan menyenangkan, mengatur pengeluaran, mengatur asupan makanan anak yang menyehatkan, perlu ilmu psikologi, tataboga, ilmu komunikasi, ilmu mendidik dan manajemen. Dan IRT yang baik tidak hanya membekali diri dengan membaca buku-buku tentang semua itu, tapi juga belajar dari pengalaman sehari-hari. Ini praktik akademis sekaligus ketrampilan yang lebih intensif daripada proses belajar para mahasiswa pasca sarjana dalam kelas.
Belum lagi kelengkapan mental. Pengaruh lingkungan sering mengalahkan pendidikan di sekolah dan pengajaran orangtua. Perilaku anak sehari-hari banyak yang baru dan tidak ada dalam buku teks. Ibu harus bisa mengatasinya langsung di lapangan. Perlu kesabaran, kehati-hatian dan pemahaman.
Bila seorang ibu punya anak dua-tiga, masih kecil-kecil, sering tak terhindarkan konflik: Si Kakak suka usil. Si Adik gampang merengek. Si Bungsu tak bisa diam.
Dalam situasi lain: Si Kakak demam, si adik mules-mules, si bungsu tak mau makan. Dan si ibu kebetulan sedang pusing. Sebelum ke dokter, si ibu harus punya pengetahuan melakukan penanganan awal, entah meramu obat dapur, mengkompres, sembari mensugesti dengan kata-kata yang menenangkan si anak.
Bagaimana dengan jam kerja? 24-7, alias 24 jam sehari tanpa libur, dengan ‘gaji’ ‘semampu perusahaan’.
Kecualikan ibu-ibu yang punya pembantu. Dini hari, harus paling duluan bangun karena harus menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak, memandikan dan membajui anak-anak. Bagi ibu-ibu Muslim, tentu harus termasuk taharah dan shalat subuh.
Setelah anak dan suami berangkat. Sambung dengan bersih-bersih rumah, ngepel, cuci piring, gelas, sendok, dsb. Habis itu nyuci baju, nyetrika, belanja ke warung sayur. Siang, anak-anak pulang dari sekolah, makanan harus sudah tersedia. Tak sedikit yang harus pergi ke sekolah menjemput. Bila sekolah anak-anak berlainan, apa boleh buat menjemput di dua-tiga tempat.
Bila anak masih kecil, si ibu perlu menemani anak bermain, entah di rumah atau di luar rumah.
Menjelang sore, ibu baru agak leluasa. Tapi sorenya sudah sibuk lagi: Memandikan anak, menyiapkan makanan lagi, mandi, shalat, menyapu, dst – sampai malam menjelang.
Malam kesibukan berkurang. Badan sudah capek. Eh, bapaknya ‘minta’. Kalau tidak di kasih suka nyelinap keluar rumah. Awalnya pura-pura baca majalah di halaman, habis itu ngilang.
Kini sebagian pekerjaan itu ditangani pihak lain, seperti nyuci baju ke binatu [laundry], atau masak diganti dengan beli matengan. Antar jemput sekolah anak ada jemputan. Tapi itu hanya sedikit mengurangi kesibukan seorang ibu. Bahkan meski ada pembantu di rumah, kesibukan ibu tetap padat. Ada banyak pekerjaan yang tidak bisa ditangani pembantu.
Belum lagi si ibu pun perlu mengurus dirinya sendiri. Memelihara kesehatan, kebugaran, kecantikan dan penampilan, toh?
Mungkin peremehan kepada IRT karena soal fisik juga. Biasanya IRT murni kurang ‘kenceng’ badannya. Tapi itu pengorbanan luar biasa. Ada perempuan yang begitu pandai merawat badannya tetap bugar dan seksi, tapi keluarga kurang terurus. Nah, bila ada IRT yang menangani rumah tangga dan keluarga dengan baik sekaligus tetap elok dipandang, ia IRT luar biasa. Wanita sukses.
Setelah anak-anak agak besar, kerepotan memang berkurang. Tapi masalah datang tak habis-habisnya. Si Reni mengurung diri berhari-hari. Si Reno tak pulang-pulang. Si Rina tak seperti biasanya.
Di kantor, wanita karir bisa makan siang bergaya kencan dengan ‘mitra kerja’. Di rumah, IRT makan siang bergaya kencan dengan anak-anak dan si bibi.
Mungkin seorang perempuan berjabatan manajer bisa mengatur anak buahnya dengan baik. Semua perintahnya diikuti. Memimpin rapat sangat efektif dan singkat. Rencana berjalan sesuai agenda. Tapi di rumah anak-anaknya sering protes dan dia kewalahan menghadapinya, meski sudah diasisteni pembantu.
Kehebatan si ibu di kantor itu tak sepenuhnya orisinil. Tentu saja anak buahnya menurut padanya karena cari penyakit kalau membangkang. Anak-anaknya di rumah, tak punya ketakutan soal kondite, karir atau gaji. Mereka merengek dan mendesak kalau permintaan tidak dipenuhi. Dan bila si anak menolak perintah, si ibu tak bisa memecatnya sebagai anak.
Karena itu, wanita yang ‘cemerlang’ di kantor tidak selalu ibu yang baik. Untuk ini cukup banyak contoh.
“Tapi dia perempuan mandiri. Tidak tergantung pada suami,” begitu komentar anda, bukan?
Ya, sebagai individu ia mandiri. Tapi sebagai karyawan tetap saja ia adalah hamba perusahaan. IRT, sementara itu, memang dinafkahi suami, tapi ia mengatur pekerjaan secara mandiri di rumah. Justru ‘wanita mandiri’ itu adalah IRT. Dia tidak perlu bersandar pada gaji bulanan di perusahaan, yang mengharuskannya meninggalkan pekerjaan utama setiap perempuan: Mengelola rumah dan keluarga.
Dan dinafkahi itu sama sekali bukan bersandar. Itu hak. Suami memberi nafkah bukan mengasihani, tapi kewajiban. Bahkan kalau menurut hitungan profesional, nafkah bulanan suami itu tidak seimbang dan beban kerja istri di rumah yang tanpa hari dan jam kerja itu. Di tempat liburan pun mereka tetap mengurus anak dan suami.
Tulisan ini sama sekali tak bermaksud mengecilkan wanita karir, tapi sekedar mengingatkan tantangan sekaligus kemuliaan seorang ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar