Ada
sekelompok golongan yg suka membid’ah-bid’ahkan (sesat) berbagai
kegiatan yang baik di masyarakat, seperti peringatan Maulid, Isra’
Mi’raj, Yasinan mingguan, Tahlilan dll. Kadang mereka berdalil dengan
dalih “Agama ini telah sempurna” atau dalih “Jika perbuatan itu baik,
niscaya Rasulullah saw. telah mencontohkan lebih dulu” atau mengatakan
“Itu bid’ah” karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Atau
“jikalau hal tersebut dibenarkan, maka pasti Rasulullah saw. memerintahkannya. Apa kamu merasa lebih pandai dari Rasulullah?”
Mem-vonis
bid’ah sesat suatu amal perbuatan (baru) dengan argumen di atas adalah
lemah sekali. Ada berbagai amal baik yang Baginda Rasul saw. tidak
mencontohkan ataupun memerintahkannya. Teriwayatkan dalam berbagai
hadits dan dalam fakta sejarah.
1.
Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Nabi
saw. berkata kepada Bilal ketika shalat fajar (shubuh), “Hai Bilal,
ceritakan kepadaku amalan apa yang paling engkau harap pahalanya yang
pernah engkau amalkan dalam masa Islam, sebab aku mendengar suara
terompamu di surga. Bilal berkata, “Aku tidak mengamalkan amalan yang
paling aku harapkan lebih dari setiap kali aku berssuci, baik di malam
maupun siang hari kecuali aku shalat untuk bersuciku itu”.Dalam riwayat
at Turmudzi yang ia shahihkan, Nabi saw. berkata kepada Bilal,
‘Dengan apa engkau mendahuluiku masuk surga? ” Bilal berkata, “Aku tidak mengumandangkan adzan melainkan aku shalat dua rakaat, dan aku tidak berhadats melaikan aku bersuci dan aku mewajibkan atas diriku untuk shalat (sunnah).” Maka Nabi saw. bersabda “dengan keduanya ini (engkau mendahuluiku masuk surga).
Hadis
di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia berkata, “Hadis shahih
berdasarkan syarat keduanya (Bukhari & Muslim).” Dan adz Dzahabi
mengakuinya.
Hadis
di atas menerangkan secara mutlak bahwa sahabat ini (Bilal) melakukan
sesuatu dengan maksud ibadah yang sebelumnya tidak pernah dilakukan atau
ada perintah dari Nabi saw.
2. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan para muhaddis lain pada kitab Shalat, bab Rabbanâ laka al Hamdu,
Dari
riwayat Rifa’ah ibn Râfi’, ia berkata, “Kami shalat di belakang Nabi
saw., maka ketika beliau mengangkat kepala beliau dari ruku’ beliau
membaca, sami’allahu liman hamidah (Allah maha mendengar orang yang
memnuji-Nya), lalu ada seorang di belakang beliau membaca, “Rabbanâ laka
al hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fîhi (Tuhan kami, hanya
untuk-Mu segala pujian dengan pujian yang banyak yang indah serta
diberkahi). Setelah selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah orang
yang membaca kalimat-kalimat tadi?” Ia berkata, “Aku.” Nabi bersabda,
“Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala
bacaaan itu.”
Ibnu
Hajar berkomentar, “Hadis itu dijadikan hujjah/dalil dibolehannya
berkreasi dalam dzikir dalam shalat selain apa yang diajarkan (khusus
oleh Nabi saw.) jika ia tidak bertentang dengan yang diajarkan. Kedua
dibolehkannya mengeraskan suara dalam berdzikir selama tidak menggangu.”
3. Imam Muslim dan Abdur Razzaq ash Shan’ani meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata,
Ada seorang lali-laki datang sementara orang-orang sedang menunaikan shalat, lalu ketika sampai shaf, ia berkata:
اللهُ أكبرُ كبيرًا، و الحمدُ للهِ كثيرًا و سبحانَ اللهِ بكْرَةً و أصِيْلاً.
Setelah
selesai shalat, Nabi saw. bersabda, “Siapakah yang mengucapkan
kalimat-kalimat tadi ?. Orang itu berkata, “Aku wahai Rasulullah saw.,
aku tidak mengucapkannya melainkan menginginkan kebaikan.”. Rasulullah
saw. bersabda, “Aku benar-benar menyaksikan pintu-pintu langit terbuka
untuk menyambutnya.”. Ibnu Umar berkata, “Semenjak aku mendengarnya, aku
tidak pernah meninggalkannya.”. Dalam riwayat an Nasa’i dalam bab
ucapan pembuka shalat, hanya saja redaksi yang ia riwayatkan:
“Kalimat-kalimat itu direbut oleh dua belas malaikat.”. Dalam riwayat
lain, Ibnu Umar berkata: “Aku tidak pernah meningglakannya semenjak aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian.”
Di
sini diterangkan secara jelas bahwa seorang sahabat menambahkan kalimat
dzikir dalam i’tidâl dan dalam pembukaan shalat yang tidak/ belum
pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dan reaksi
Rasul saw. pun membenarkannya dengan pembenaran dan kerelaan yang luar
biasa. Al hasil, Rasulullah saw. telah men-taqrîr-kan (membenarkan)
sikap sahabat yang menambah bacaan dzikir dalam shalat yang tidak pernah
beliau ajarkan.
4.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, pada bab menggabungkan
antara dua surah dalam satu raka’at dari Anas, ia berkata,
“Ada
seorang dari suku Anshar memimpin shalat di masjid Quba’, setiap kali
ia shalat mengawali bacaannya dengan membaca surah Qul Huwa Allahu Ahad
sampai selesai kemudian membaca surah lain bersamanya. Demikian pada
setiap raka’atnya ia berbuat. Teman-temannya menegurnya, mereka berkata,
“Engkau selalu mengawali bacaan dengan surah itu lalu engkau tambah
dengan surah lain, jadi sekarang engkau pilih, apakah membaca surah itu
saja atau membaca surah lainnya saja.” Ia menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan apa yang biasa aku kerjakan. Kalau kalian tidak keberatan
aku mau mengimami kalian, kalau tidak carilah orang lain untuk menjadi
imam.” Sementara mereka meyakini bahwa orang ini paling layak menjadi
imam shalat, akan tetapi mereka keberatan dengan apa yang dilakukan.
Ketika
mereka mendatangi Nabi saw. mereka melaporkannya. Nabi menegur orang
itu seraya bersabda, “hai fulan, apa yang mencegahmu melakukan apa yang
diperintahkan teman-temanmu? Apa yang mendorongmu untuk selalu membaca
surah itu (Al Ikhlash) pada setiap raka’at? Ia menjawab, “Aku
mencintainya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kecintaanmu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga.”
Demikianlah
sunnah dan jalan Nabi saw. dalam menyikapi kebaikan dan amal keta’atan
walaupun tidak diajarkan secara khusus oleh beliau, akan tetapi selama
amalan itu sejalan dengan ajaran kebaikan umum yang beliau bawa maka
beliau selalu merestuinya. Jawaban orang tersebut membuktikan motifasi
yang mendorongnya melakukan apa yang baik kendati tidak ada perintah
khusus dalam masalah itu, akan tetapi ia menyimpulkannya dari dalil umum
dianjurkannya berbanyak-banyak berbuat kebajikan selama tidak
bertentangan dengan dasar tuntunan khusus dalam syari’at Islam.
Kendati
demikian, tidak seorangpun dari ulama Islam yang mengatakan bahwa
mengawali bacaan dalam shalat dengan surah al Ikhlash kemudian membaca
surah lain adalah sunnah yang tetap! Sebab apa yang kontinyu diklakukan
Nabi saw. adalah yang seharusnya dipelihara, akan tetapi ia memberikan
kaidah umum dan bukti nyata bahwa praktik-prakti seperti itu dalam
ragamnya yang bermacam-macam walaupun seakan secara lahiriyah berbeda
dengan yang dilakukan Nabi saw. tidak berarti ia bid’ah (sesat).
5. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab at Tauhid,
dari
Ummul Mukminin Aisyah ra. bahwa Nabi sa. Mengutus seorang memimpin
sebuah pasukan, selama perjalanan orang itu apabila memimpin shalat
membaca surah tertentu kemudian ia menutupnya dengn surah al Ikhlash
(Qulhu). Ketika pulang, mereka melaporkannya kepada nabi saw., maka
beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia melakukannya?” Ketika
mereka bertanya kepadanya, ia menjawab “Sebab surah itu (memuat) sifat
ar Rahman (Allah), dan aku suka membacanya.” Lalu Nabi saw. bersabda,
“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.” (Hadis Muttafaqun
Alaihi).
Apa
yang dilakukan si sahabat itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw.,
namun kendati demikian beliau membolehkannya dan mendukung pelakunya
dengan mengatakan bahwa Allah mencintainya.
WAALLAHU A'LAMU BISHOWABI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar