“Ah, saya cuma IRT (ibu rumah tangga).”
Ungkapan itu sering saya dengar dari – tentu saja dari ibu rumah tangga. Dan sungguh tak nyaman mendengarnya.
Kata ‘cuma’-nya itu lho – dan eskpresi kurang pede –mengesankan bahwa status ibu rumah tangga itu inferior dan tidak bergengsi.
Suatu waktu kami hendak mengadakan reuni sekolah. Ketika memberitahu seorang alumni yang berstatus IRT, dia tak bersedia datang. Alasannya malu karena teman-temannya sesama alumni bekerja (di kantor), berkarir, sedangkan dia ‘cuma ibu rumah tangga’.
Saya bilang ibu mestinya bangga, bukan malu. Teman-teman ibu harus pergi bekerja, pergi pagi pulang sore, ada yang pulang malam, untuk menghidupi keluarga. Ibu tak usah.
“Tapi pemasukan kurang. Pas-pasan,” kilahnya.
Ungkapan itu sering saya dengar dari – tentu saja dari ibu rumah tangga. Dan sungguh tak nyaman mendengarnya.
Kata ‘cuma’-nya itu lho – dan eskpresi kurang pede –mengesankan bahwa status ibu rumah tangga itu inferior dan tidak bergengsi.
Suatu waktu kami hendak mengadakan reuni sekolah. Ketika memberitahu seorang alumni yang berstatus IRT, dia tak bersedia datang. Alasannya malu karena teman-temannya sesama alumni bekerja (di kantor), berkarir, sedangkan dia ‘cuma ibu rumah tangga’.
Saya bilang ibu mestinya bangga, bukan malu. Teman-teman ibu harus pergi bekerja, pergi pagi pulang sore, ada yang pulang malam, untuk menghidupi keluarga. Ibu tak usah.
“Tapi pemasukan kurang. Pas-pasan,” kilahnya.