Rabu, 21 Juni 2017

KHUTBAH IDUL FITRI ala NAHDLIYIN 2017



Khutbah Hari Raya Idul Fithri
Menjadi Mukmin yang Muttaqin Menuju Fithrah           

Diolah oleh Yusuf Suharto

السلام عليكم ورحمة الله وبـــركاته
x٩  الله أكـبر   
الله أكبر كبيرا  والحمد لله كثـــيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.
لا إله إلا الله هو الله أكبر, الله أكبر ولله الحمـــد.
لا إله إلا الله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون. لا إلا الله وحــده صدق وعده ونصر عبده وأعد جنـده وهزم الأحزاب وحده.
 الحمد لله الذى جعل شهر رمضان شهر العبادة, وشهر البركة, وشهر الرحمة, وشهر المغفرة, وشهر عتق من النار. وذلك من فضل ورحمة الله الملك الحق المبين.
وأشهـد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله الصادق الوعد الأمين. اللهم صل وسلم وبارك عليه وعلى آله وأصحابه الكرام وسلم تسليما كثيرا. أما بعـــد:
فيا عباد الله أوصيكم ونفسى بتقوى الله وطاعته فقد فاز المتقون.
 Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Alhamdulillah,dengan takbir dan tahmid, umat Islam sedunia  akhirnya mengumandangkan kebesara asma Allah karena limpahan karunianya yang sangat besar. Allah telah menghantarkan kita  kepada satu hari yang sangat mulia ini: “Idul Fithri, hari kembalinya jiwa-jiwa manusia yang bertakwa kepada fitrahnya semula. Satu hari di mana dosa-dosa kita diampuni oleh Allah, sehingga jiwa kita kembali “bersih”, putih laksana kertas yang belum ternoda apapun.
            Syukur Alhamdulillah, ternyata kita hari ini benar-benar merasakan kebenaran sabda Rasulullah  Muhammad shallallah ‘alaih wasallam:

للصائم فرحتان يفرحهما:إذا أفطر فـرح بفطره, وإذا لقـى ربه فـرح بصومـه
“Orang yang berpuasa memiliki dua bentuk kebahagiaan: Pertama, dia merasa bahagia ketika dia berbuka. Dan kedua, dia bahagia ketika (nanti) bertemu dengan Allah, dan berbangga dengan puasanya.” (HR. al-Bukhari & Muslim, dari Abu Hurairah)
            Alhamdulillah, hari ini kita berbahagia, karena kita telah berfitrah: berbuka puasa setelah sebulan penuh mencoba melatih diri kita untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa (la‘allakum tattaqun). Dan hari ini kita dianjurkan untuk merayakan kebahagiaan ini dengan hari yang fitri: suci dan bersih. Karena Allah telah menghalalkan apa-apa yang dilarang-Nya di bulan Ramadan.
            Selain itu, kebahagiaan ini merupakan ajaran agama Islam. dimana seorang yang berpuasa bangga dan bahagia karena dia diberi rahmat dan taufiq oleh Allah untuk melaksanakan kewajibannya karena Allah.
Mudah-mudahan, kebahagiaan ini tidak membuat kita lalai, bahwa sebelas bulan yang akan datang tantangan dan rintangan begitu banyak dan beragam. Bekal Ramadhān yang barusan telah lewat semoga mewarnai dalam hidup dan kehidupan kita pada 11 bulan yang akan datang. Insya Allah, perjalanan panjang itu akan kita mulai hari ini.
 Ma‘asyiral Muslimin Jama‘ah Shalat ‘Idul Fitri yang Berbahagia
Hari ini, prestasi Ramadhan mulai diuji. Apakah benar kita sukses dalam ‘Madrasah Ramadhān’ yang sebulan itu? Atau justru kita malah ‘tidak lulus’ alias “gagal total” di dalamnya? Pertanyaan ini penting untuk dijawab dengan jujur dan penuh kerendahan qalbu.
            Jangan pernah ada niat dalam hati kita, bahwa eksistensi pahala hanya ada di bulan Ramadhan. Jangan pernah pula terpikir di benak kita bahwa usai Ramadhan semuanya “bubar” tak berbekas. Jangan ada yang mengira bahwa selesai Ramadhān selesai pula shalat berjama’ah di masjid.
Ramadhan begitu mulia dan berharga buat kita. Maka sangat mengecewakan dan menyedihkan jika nilai-nilai pendidikan di dalamnya hilang begitu saja setelah Syawwāl hadir menggantikannya. Karena Ramadhan adalah ‘musim semi’nya orang-orang yang bertakwa dan “pasar” tempat orang-orang saleh berdagang dan berniaga. Dan seorang pedagang yang baik adalah: yang meningkatkan semangatnya ketika musim dagangannya tiba, dan tidak menutup tokonya ketika musim itu pergi.
Ramadhan adalah bulan di mana Allah telah menetapkan kewajiban berpuasa bagi kita seperti pula diwajibkan bagi orang-orang yang sebelum kita, dengan tujuan agar kita bertaqwa. Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Jika kita renungkan, ayat ini mengandung sekian banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita urai hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian membenarkan dan mengikrarkan keimanan pada Allah dan Rasul-Nya”.
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman. Kemudian Allah berfirman
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati obyek perintah yaitu manusia yang diajak bicara. Karena suatu perkara yang sulit itu yang dalam hal ini adalah puasa jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al-Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa.
Imam Al-Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan bersebadan”.
Jama’ah Idul Fithri Rahimakumullah
Dalam bahasa Arab, Taqwa berasal dari kata kerja ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Secara istilah, definisi taqwa yang terindah salah satunya sebagaimana diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”.
            Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa dalam beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena melandasi dirinya dengan dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan karena motivasi atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Menjadi jelas kemudian bahwa bahwa takwa merupakan intisari dari iman, iman tidak hanya percaya, tetapi meyakini dan melaksanakan apa yang kita percayai. Takwa bagaikan mutiara yang akan indah setelah melalui proses yang panjang dan berkesinambungan. Salah satu proses yang menjadikan seseorang bertakwa adalah melalui puasa  Ramadan seperti yang tertera dalam ayat di atas.
Puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang beriman yang sudah baligh setiap tahunnya yang akan memberikan ciri khusus bagi mereka yang melaksanakannya. Salah satu cirinya adalah selalu ingin menjadi lebih baik, lebih saleh dari hari ke hari. Tetapi tidak semua yang melaksanakan puasa akan mendapat predikat bertakwa, manakala puasanya banyak dihiasi dengan hal yang mengurangi nilai puasa tersebut. Puasa Ramadan bagaikan diklat atau pelatihan satu bulan penuh untuk menahan segala hal yang negatif yang dilarang Allah Ta’ala untuk dimanifestasikan dan direfleksikan pada sebelas bulan selanjutnya.
Predikat takwa akan terlihat setelah berakhirnya bulan Ramadan, manakala di bulan ramadaan ini kita melaksanakan qiyamullail, tadarrus al-Quran, tarawih witir, sedekah, menghindari ghibah, fitnah dan hal hal lain yang akan mengurangi nilai-nilai ketakwaan kita sebagai seorang yang beriman.
Seorang yang bertakwa akan selalu menjaga kualitas ketakwaannya kepada Allah melaluli pelatihan rohani dan jasmani di bulan suci ini. Seseorang yang bertakwa akan merasa rindu pada kedatangan kembali bulan suci Ramadan dan merasa gembira bertemunya bulan Ramadan. Rasulullah sangat menanti nantikan kedatangan bulan Ramadan dan menangisi kepergiannya. Hal ini tentunya dengan alasan bahwa di bulan Ramadan Allah melimpahkan rahmatnya kepada mereka yang benar-benar melaksanakan puasa
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi di hadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Jama’ah idul Fithri yang dirahmati Allah
Merayakan Idul fitri artinya kembali kepada kesucian dan fitrah, sebab kita telah beribadah di bulan Ramadhan khususnya berpuasa dan puasa itu berfungsi mengampuni dosa-dosa yang telah lewat di samping dalam Ramadan itu kita mengerjakan ibadah-ibadah lainnya, baik yang wajib seperti shalat, zakat (zakat Fitrah) serta ibadah-ibadah sunnat seperti tadarrus, Tarawih, Qiyam Lail, silaturahim yang sangat tinggi nilainya di bulan Ramadhan.
Dengan ibadah puasa seorang mukmin telah mendapat tiga hal, atau dua dari tiga hal, atau setidak-tidaknya satu dari tiga hal seperti berikut ini yaitu:
1. Diampuni Allah Ta’ala dosa-dosa yang telah lewat.
2. Mendapat kebaikan (pahala) dari ibadah puasanya dan Allah Ta’ala yang akan memberi balasan.
3. Meraih posisi kedudukan yang paling mulia disisi Allah Ta’ala sebagai “Muttaqin”
Sedangkan berhari raya artinya merayakan kegembiraan karena keberhasilan dan kesuksesan, baik itu kesuksesan pribadi atau kesuksesan orang lain yang dengan menunaikan kewajiban berpuasa dan ibadah–ibadah lainnya, maka mereka bersyukur dan bergembira.
Sementara ber ”Lebaran” adalah berkesempatan luas (lebar) untuk bertemu dengan sesama keluarga, sahabat, handai tolan, tetangga maupun kerabat untuk dapat mengungkapkan dan mengucapkan “Tahniyyah” (greeting/ucapan selamat) yaitu selamat atas diri orang yang melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Maupun memohon mengucapkan kalimat permohonan maaf kepada orang lain, agar memperoleh keselamatan dunia maupun akhirat dari kesalahan dan dosa yang diperbuat kepada orang lain.
Kalau salah dan dosa kepada Allah Ta’la, kita dapat memohon ampun dan taubat langsung kepada-Nya. Demikian pula sebaliknya, maka kesalahan dan dosa kepada manusia hendaklah kita memohon maaf langsung juga dari orang yang kita melakukan kekhilafan atau kesalahan maupun dosa kepadanya.
Sebab dengan dimaafkannya kesalahan seseorang oleh orang yang dia bersalah kepadanya adalah keselamatan dari dosa yang harus dan hanya dapat dihapus dengan kemaafan dari orang yang bersangkutan.
Dikandung maksud agar kesucian diri yang telah diraih dengan beribadah (khususnya berpuasa) di bulan Ramadhan dimana diyakini bahwa Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa yang telah lewat, dapat pula mendorong dan menjadi wadah untuk membersihkan diri dari salah dan dosa antara sesama manusia dengan saling memaafkan di bulan yang fitrah tersebut.
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam bersabda yang artinya;
“Siapa yang berpuasa di bulan suci Ramadhan dengan Iman dan Ikhlas karena Allah Ta’ala maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” ( Al-Hadis).
Usai berpuasa sebulan pada Ramadhan. Orang-orang mukmin memasuki episode kehidupan baru. Kehidupan yang penuh dengan makna dan arti. Nilai-nilai luhur mendasari kehidupannya yang tertanam dalam hati. Nilai-nilai yang bersumber dari Islam sebagai muttaqien. Kehidupan yang bersih dari bentuk-bentuk kotoran dunia. Kehidupan yang tidak lagi mau berkolaborasi dengan hal-hal yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam bentuk kekejian. Kehidupan yang tidak lagi dilumuri dengan dosa. Inilah makna kembali kepada fitrah.
Idul Fithri juga bermakna kembali kepada fithrah, kembali kepada kesucian diri. Sebagai mukmin yang muttaqin, kembali fithrah  berarti secara jujur kita melepaskan segala sikap ketergantungan, keterikatan dan sikap memperhamba diri kepada kepuasan dunia.
Perwujudan dari kesucian fithrah akan menumbuhkan sifat-sifat kemanusiaan yang tinggi. Kembali ke fithrah berarti kembali dari sikap kekikiran kepada dermawan, dari kufur kepada syukur, dari tinggi hati menjadi rendah hati, dari pendendam menjadi pemurah dan pemaaf, dari merasa terpaksa menjadi ikhlas, dari pesimis menjadi optimis, dari malas menjadi semangat, dari takut menjadi pemberani, dari permusuhan menjadi persahabatan dan dari pertikaian menjadi persatuan.
الله اكبرالله اكبرالله اكبر ولله الحمد
با رك الله لنا ولكم بالقرآن العظيم, ونفعنا واياكم بما فيه من الآيات وذكرالحكيم, وتقبل منا تلاوته, انه هوالبر الرحيم, وقل رب اغفر وارحم, وانت خير الراحمين
Khutbah Kedua
الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر- الله اكبر.
الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة  واصيلا, لااله الاالله والله اكبر,الله اكبر ولله الحمد.
الحمدلله المبدئ المعيد, والشكر له سبحانه على نعمه التى بفضله تزيد, واشهد ان لااله الاالله وحده لاشريك له, القائل فى كتابه المجيد: وان هذا صراطى مستقيما فاتبعوه. واشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله المبعوث بالدين الحنيف اللهم صل على حبيبنا وقرة اعيننا محمد وعلى آله وصحبه الكرام. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إجتهدوا يوم الفطر فى الصدقات واعمال الخير والبر, من الصلاة والزكاة والتسبيح والتهليل, فإنه اليوم الذى يغفر الله فيه ذنوبكم ويستجيب دعاءكم وينظر اليكم بالرحمة. اما بعد:
فيآ ايها المسلمون الكرام اوصيكم ونفسى بتقوالله. وقال الله تعالى فى كتابه الكريم : اعوذ بالله من الشيطان الرجيم, إن الله وملا ئكته يصلون على النبى يآ ايها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما: اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحيآء منهم والأموات انك قريب مجيب الدعوات وياقاضى الحاجات
والحمد لله رب العالمين.
عبادالله ان الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتآء ذى القرب وينهى عن الفخشآء والمنكر والبغى يعظكم لعلكم تذكرون, واذكروا الله العظيم واشكروه على نعمه يزدكم ولذكر الله اكبر.

Yanu Prasmanto, Madrasah Diniyah Nabatussalam Bandung Tulungagung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar