Minggu, 10 Juli 2022

Pipis di Wastafel

Pipis di Wastafel

Rizal Mumaziq
***
Dulu, KH. A. Hasyim Muzadi menjadi pendamping jamaah haji. Jamaahnya mayoritas dari desa. Sebagian juga sudah sepuh, dan baru kali itu naik pesawat terbang.

Maka menjadi sebuah kerepotan manakala mereka tidak paham menggunakan toilet pesawat. Toilet jadi bau karena ada jamaah yang pipis di lantai kamar kecil yang memang sempit itu. Ada pula yang buang air besar nggak disiram karena nggak tahu letak tombol flush-nya.

Apa masalah selesai? Belum. Saat di pemondokan, ternyata ada jamaah yang pipis di wastafel. Alamaaaak. Bau pesing lah. Ditanyai satu persatu, jamaah nggak ada yang mengaku.

Akhirnya, Kiai Hasyim dengan cerdik memancing dengan pertanyaan, "Menurut bapak-bapak semua, apakah tempat kencing di pemondokan ini sudah baik?"



Sebagian besar menjawab "Sudah baiiiik, kiai." Hingga ada satu kakek yang menyela:

"Sebenarnya sih sudah baik pak kiai, cuma terlalu tinggi. Tadi pagi saya susah mau pipis, karena ketinggian, akhirnya saya bawa kursi ke situ."

Maka, tahulah Kiai Hasyim siapa yang pipis di wastafel.

Sabtu, 09 Juli 2022

Humorisnya Gus Baha

 Allah Masuk Surga

****

Yang menarik dari Gus Baha' bukan saja pada cantolan keilmuannya di sana-sini (berbagai fan keilmuan), dengan kutipan utuh dari berbagai kitab, atau nukilan maqolah ulama, melainkan pada daya ledak humornya. Satu hal lagi yang menjadi catatan: Gus Baha' jarang, atau malah tidak pernah melakukan body shaming perempuan, seksis-jorok, menjadikan janda sebagai bahan guyonan, dan selebihnya mengajak menertawakan diri sendiri, juga fenomena keberagamaan saat ini yang serba tegang, kaku, dan cenderung keras.

Gus Baha' biasanya nggojloki Kang Rukhin dan kang Musthofa, jamaah setianya. Juga melontarkan humornya yang bersanad. Transmisi joke yang didapatkan dari gurunya, gurunya dari gurunya, terus ke Shohibul Hikayah.

Jumat, 08 Juli 2022

Cerita Lucu Kyai Kondang

 

KH A. Muchith Muzadi atau akrab disapa Mbah Muchith itu orang ‘alim yang khudlu’, bahkan cenderung khumul sangking bersahajanya. Beliaulah konseptor sejati pidato monumental Kyai Achmad Shiddiq tentang status syar’iy NKRI pada Muktamar NU di Sitobondo, 1984 —”NKRI adalah bentuk final perjuangan umat Islam Indonesia tentang Negara!”
Tapi takkan bisa engkau mengeceknya kepada Mbah Muchith sendiri. Beliau selalu bilang,
“Saya cuma tukang ketik…”
 
Semua orang mengakui ke’alimannya. Tapi Mbah Muchith sendiri ingin menghadirkan dirinya sebagai ”santri selama-lamanya”. Dengan penuh disiplin, “penampilan ala kyai” sengaja dihindarinya.
Saya kira Mbah Muchith tak punya jubah. Kain sorban saja mungkin tidak. Tak pernah saya melihatnya selain dengan peci hitamnya, saya taksir tidak mahal harganya. Peci putih ala kyai haji seolah sirikan baginya.
 
Suatu ketika, tak sengaja Gus Mus bertemu Mbah Muchith Muzadi di Surabaya.
“Ada acara apa?” Mbah Muchith bertanya.
“Pengajian”.
“Sudah bawa jas sama sorban?”
Gus Mus mengernyitkan dahi,
“Memangnya kenapa?”
“Disini kalau nggak pakai jas dan sorban nggak laku…”
 
Mbah Muchith pun kemudian menceritakan pengalamannya menghadiri undangan ceramah dari sebuah pesantren.